Motto

"MEMBACA UNTUK MENULIS, MENULIS UNTUK DIBACA"

Minggu, 15 Juli 2012

"STUDI ISLAM" METODOLOGI KOMPREHENSIF KEAGAMAAN

"STUDI ISLAM"
METODOLOGI KOMPREHENSIF KEAGAMAAN


oleh :
Mushlih Candrakusuma



PENDAHULUAN

Islam di zaman sekarang telah mengalami permasalahan besar. Ilmu-ilmu keislaman telah mengalami krisis yang akut. Banyak problem kemanusiaan yang tidak mampu disentuh oleh ilmu-ilmu keislaman akibat anomali yang dimilikinya. sebut saja, misalnya, kasus korupsi, kolusi, nepotisme dan berbagai pembunuhan sadis yang ternyata dilakukan oleh seorang Muslim. Hal ini merupakan bukti bahwa ilmu Fiqih dan Akhlaq gagal dalam memandu masyarakat menuju perilaku taat pada norma susila dan hukum. Oleh karena itu perlu digunakan suatu pemahaman Islam yang menyeluruh (komprehensif), yang mengacu pada semua aspek.
Dalam kajian tentang pemahaman Islam, tidak banyak kajian yang mampu menjelaskan Islam secara menyeluruh sehingga muncul banyak masalah seperti yang disebutkan di atas. Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya, salah satunya kajian keagamaan yang terlalu normative (legalistic-formalistik) yang tidak memungkinkan kajian yang lebih bersifat luas dan komprehensif, serta menutup kemungkinan penggunaan metode-metode luar untuk ikut mengkaji agama. Dari sini nampak kelemahan dari pengkaji Islam itu sendiri yang terlalu fanatik terhadap metodologi kajian keagamaan yang pada fase selanjutnya menjadi sikap ta’ashub yang berakibat pada truth claim. Sehingga wajar jika Islam nampak teralienasi di zaman modern ini.
Perlu digunakan suatu metode baru dalam memahami Islam. Metode yang bersifat cair dan komprehensif, serta dengan pendekatan dan perspektif baru yang akan memperluas cakupan Islam itu sendiri. Islam adalah agama yang multi approach dan multi perspektive. Islam juga merupakan agama yang ”shalih li kulli zaman wa makan”. Atas landasan tersebutlah kami membuat makalah ini dengan harapan membuka paradigma baru dalam mengkaji Islam, serta memperkuat dan memperkukuh keyakinan agama kita agar tidak mudah terhegemoni dan membijakan sikap kita dalam setiap permasalahan keagamaan.

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Studi Islam
Study Islam dapat berarti mempelajari Islam atau melakukan penelitian pada Islam. Di kalangan para ahli masih terdapat pardebatan di sekitar permasalahan tentang Study Islam. Ada yang menuduh studi Islam merupakan revisi-subversif atas ilmu-ilmu keislaman, bahkan muncul anggapan bahwa studi Islam merupakan studi yang dirasuki pemikiran orientalist dan akan mendangkalkan iman seseorang tentang Islam. Hal ini jelas salah, karena sesungguhnya studi Islam merupakan respon atas gejala study Islam kontemporer yang menjadikan Islam selain sebagai agama, juga sebagai suatu disiplin ilmu.
Sebagai suatu disiplin ilmu, Islam tidak lagi terbatas pada kajian doktriner tapi juga merambah pada bidang-bidang nondoktriner seperti studi atas keadaan social masyarakat muslim, studi kawasan, studi alam pikiran muslim dan antropologi muslim. Studi Islam juga merupakan respon terhadap paham formalisme gejala keagamaan yang cenderung individualistic dan lebih mementingkan bentuk formal daripada sesuatu yang bersifat esensial. Disini disimpukan bahwa studi Islam merupakan penelitian secara komprehensif terhadap relevansi pemahaman doktrin Islam yang bersifat teoritis dalam syari’at (normative / law in book) dengan realita social keagamaan Islam yang praktis-aplikatif dalam masyarakat (histories / law in action).
Ketika menafsirkan studi Islam dalam arti penelitian, perlu terlebih dahulu ada kejelasan Islam pada level mana yang diteliti. Maka penyebutan Islam normative dan Islam historis sangat perlu. Islam normative adalah Islam sebagai wahyu, dan tentunya kurang tepat bila studi diartikan penelitian, akan tetapi disini studi dapat diartikan mempelajari, karena disini kita hanya taken for grented. Sedangkan Islam histories adalah Islam sebagai produk sejarah yang merupakan praktek dari ajaran Islam sejak masa Nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Pada kedua ruang lingkup inilah sebenarnya studi Islam menjalankan tugasnya.
Ada pula ilmuwan yang membuat ruang lingkup pengelompokan lain. Misalnya, Nasr Hamid Abu Zaid mengelompokan ruang lingkup studi Islam menjadi tiga wilayah, yaitu:
1. Wilayah teks asli Islam (the original text of Islam), yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad yang otentik.
2. Pemikiran Islam, yaitu ragam penafsiran terhadap teks asli. Dapat pula disebut hasil ijtihad atau pemahaman terhadap teks asli.
3. Praktek yang dilakukan kaum Muslim dalam berbagai macam latar belakang social.
Ada banyak lagi pengelompokan mengenai ruang lingkup studi Islam yang ditawarkan oleh beberapa tokoh. Akan tetapi kami rasa penjelasan tentang ruang lingkup di atas sudah cukup representative untuk mengetahui ruang lingkup studi Islam.
B. Berbagai Pendekatan Dalam Studi Islam
Sejalan dengan pembidangan ilmu dalam studi Islam, pendekatan studi Islam pun mengalami perkembangan. Ada beberapa istilah yang mempunyai arti hampir sama dan mrnunjukan tujuan yang sama dengan pendekatan, yaitu theoretical framework, conceptual framework, approach, perspektive, point of view dan paradigm. Semua istilah ini bisa diartikan cara memandang dan cara menjelaskan suatu gejala atau fenomena.
Karena telah menjadi disiplin ilmu, studi Islam perlu merekonstruksi ilmu-ilmu keislaman dengan cara mencangkok (mentransplantasi) dan menggunakan teori-teori serta metodologi-metodologi yang berasal dari luar kalangan sendiri. Dalam studi Islam, Islam dapat diteliti dengan menggunakan berbagai pendekatan (multi perspektif). Untuk lebih jelasnya, berbagai pendekatan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan normative adalah studi yang memandang masalah dari sudut pandang legal-formal (halal dan haram, benar dan salah). Dengan demikian, pendekatan teologis normative adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk form keagamaan yang masing-masing bentuk tersebut mengklaim dirinya yang paling benar (truth claim). Yang menjadi sifat dasar teologis normative adalah implikasi pembentukan mode of thought yang bersifat partikularistik, eksklusif, dogmatis, dan seringkali intoleran serta lebih menonjolkan segi-segi perbedaan.
Pendekatan ini menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena bersumber dari Tuhan, dan selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi. Menurut Fazlur Rahman pendekatan ini saraf dengan literatur-literatur yang hanya berupa komentar, penjelasan terhadap suatu karya, serta sangat sedikit membuat pikiran-pikiran maupun gagasan-gagasan baru. Menurutnya, doktrin-doktrn atau ajaran-ajaran Islam dalam suatu kurun sejarah tertentu harus mempunyai konsistensi, koherensi dan korespondensi, sehingga dalam wacana keagamaan harus ada pikiran dan gagasan baru guna memecahkan permasalahan yang kompleks.
Akan tetapi pendekatan ini sangat perlu karena dapat digunakan untuk menunjukan arah keyakinan dan transendensi melalui fokus yang memediasikan. Ada yang menempatkan ide tentang yang suci (the holy) sebagai gagasan sentral. Tidak ada agama ketika the holy tidak hidup sebagai inti paling dalam dari suatu kepercayaan. Hal ini menunjukkan suatu pandangan yang melihat agama sebagai pencarian dan respon manusia terhadap apa yang mereka alami sebagai the holy. Ilmuan lain ada yang lebih suka menggunakan istilah the sacred untuk menunjukan bahwa agama memiliki suatu elemen unik yang tidak dapat diabaikan. Titik perhatiannya adalah bagaimana manusia mengalami dan memahami the sacred dalam kehidupan mereka.
Agama bukan semata-mata suatu sarana memenuhi kebutuhan manusia, melainkan juga merupakan respon terhadap pengalaman manusia tentang yang suci. Untuk mencapai pada tingkatan inilah, pendekatan teologis normative menjadi sangat penting untuk digunakan.
2. Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat, struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena social dapat dianalisis dengan factor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari proses terjadinya sesuatu. Pendekatan sosiologi dalam memahami agama sangat perlu, karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial.
Dalam buku yang berjudul “Islam Alternatif”, Jalaludin Rahmat menunjukan pentingnya pendekatan sosiologis dalam mengkaji agama Islam, karena beberapa alasan, yaitu:
- Dalam Al-Qur’an atau kitab-kitab Hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Perbandingan ayat-ayat ibadah dengan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus.
- Adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan untuk ditinggalkan).
- Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran yang lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan.
- Terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal dikarenakan melanggar pantangan, maka kifaratnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
- Terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah.
Pendekatan sosial ini perlu memanfaatkan ilmu-ilmu sosial humaniora Barat sebagai pisau analisis, untuk menemukan solusi alternatif bagi pengembangan ilmu-ilmu keislaman agar dapat memberi manfaat bagi masyarakat terutama ketika harus menghadapi masalah-masalah baru zaman sekarang yang amat berbeda ketika ilmu-ilmu kaislaman telah disusun. Dalam pendekatan sosiologi, minimal ada tiga teori yang dapat digunakan dalam penelitian, yaitu:
a. Teori Fungsional, teori yang mengasumsikan masyarakat sebagai kesatuan dari kelompok-kelompok tertentu yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri yang berbeda dengan yang lain. Yang menjadi kajian adalah dengan melihat atau meneliti fenomena masyarakat dari sisi fungsinya. Langkah-langkah yang diperlukan dengan menggunakan teori ini adalah: (1) membuat identifikasi tingkah laku sosial yang problematik, (2) mengidentifikasi konteks terjadinya tingkah laku yang menjadi objek penelitian, (3) mengidentifikasi konsekuensi dari tingkah laku sosial.
b. Teori Interaksional, mengasumsikan bahwa dalam masyarakat pasti ada hubungan antara masyarakat dengan individu, atau hubungan antar individu. Teori ini sering diidentifikasi sebagai deskripsi interpretatif, yaitu pendekatan yang menawarkan analisis. Prinsip yang dikembangkan dalam pendekatan ini adalah: (1) bagaimana individu menyikapi sesuatu, atau apa saja yang ada di lingkungannya, (2) memberikan makna pada fenomena tersebut berdasarkan interaksi sosial yang dijalin dengan individu lain, (3) makna tersebut difahami dan dimodifikasi melalui proses interpretasi yang berkaitan dengan hal-hal yang dijumpai.
c. Teori Konflik, yaitu teori yang meyakini bahwa setiap masyarakat mempunyai kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) yang merupakan pusat dari segala hubungan sosial.
3. Pendekatan Antropologi
Pendekatan Antropologi adalah pendekatan dalam memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Berbeda denga pendekatan sosiologis, pendekatan ini menggunakan metode induktif serta penelitian grounded dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang abstrak.
Pendekatan ini digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran empiris atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. Dengan pendekatan ini kita dapat melihat korelasi antara agama dengan etos kerja dan perkembangan masyarakat, hubungan agama dengan mekanisme perorganisasian, serta hubungan antara agama dan negara (state and religion).
Selain itu, dengan melihat budaya sebagai pranata yang terus menerus dipelihara, kita akan mengetahui metode membumikan dan membudayakan Islam, serta mampu memilah dan membedakan antara budaya dan agama.
4. Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah ilmu yang membahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku peristiwa. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak melalui analisis sejarah. Melalui pendekatan sejarah, seorang peneliti akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis. Pendekatan sejarah bertujuan menemui inti karakter agama dengan menelusuri dan meneliti sumber klasik sebelum dicampuri dengan yang lain.
Dalam pendekatan sejarah, ada dua teori yang bias digunakan, pertama adalah idealist approach, yakni melakukan pemahaman dan penafsiran sejarah dengan mempercayai apa adanya suatu fakta. Kedua adalah reductionalist approach, yakni meneliti, memahami dan menafsirkan dengan penuh keraguan. Pendekatan sejarah dapat pula didekati dengan metode diakronik, sinkronik dan sistem nilai.
Kuntowijoyo juga melakuakan pendekatan sejarah dalam memahami agama. Ketika mempelajari Al-Qur’an, ia berkesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan Al-Qur’anterbagimenjadi dua bagian. Yang pertama berisi konsep-konsep, dan yang kedua berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Pada bagian pertama, Al-Qur’an merujuk pada pengertian-pengertian normatif, doktrin serta aturan-aturan legal yang mengacu pada nilai-nilai Islam yang menjadi konsep-konsep yang otentik. Sebaliknya, pada bagian yang kedua, Al-Qur’an ingin mengajak dilakukanny aperenungan untuk memperoleh hikmah melalui kontemplasi terhadap kejadian atau peristiwa-peristiwa historis dan juga melalui kiasan-kiasan yang berisi hikmah tersembunyi.
Melalui pendekatan sejarah, kita akan memasuki keadaaan sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya.
5. Pendekatan Semantik
Semantik adalah ilmu yang mempelajari atau mengembangan penalaran melalui tanda-tanda yang ada dalam menfsirkan berbagai macam teks secara bebas dan luas. Maksud pendekatan semantik adalah kajian yang menekankan pada aspek bahasa, yang mencangkup struktur/gramatikal, tunjukannya/dalalah, dan dari segi maknawi. Pendekatan ini demikian populer dalam kajian tafsir dan fiqih, dengan penggunaan kaidah mutlaq-muqayyad, manthuq-mafhum, mujmal-mubayyan, muradif-musytarak dll.
Untuk lebih memahami mengenai pendekatan semantik, kita dapat melihat pemikiran Muhammad Arkoun. Tema-tema pemikirannya banyak yang terkait dengan permasalahan bahasa: misalnya korelasi antara bahasa, pemikiran, sejarah dan kekuasaan; persaingan antara berbagai macam bahasa dan cara berpikir; pertentangan antara bahasa lisan dan bahasa tulis. Arkoun tampaknya juga ingin mengaitkan persoalan bahasa dengan persoalan agama dan masyarakat secara luas, sehingga secara analisis sering melampaui persoalan teoritis-semiotis. Bahkan analisis semiotisnya telah mencapai kesadaran semiotis yang mempunyai perspektif “membebaskan” dalam membaca dan memahami teks/literatur, supaya umat Islam bias keluar dari beban-beban ideologis, politis, citra atau angan-angan negative, yang tanpa disadari telah lama membelenggu.
6. Pendekatan Hermeneutika
Istilah hermeneutka berasal dari kata kerja Yunani, hermeneuin yang berhubungan dengan kata hermenes dan terkait dengan dewa dalam mitologi Yunani kuno bernama “Hermes”. Hermes merupakan utusan dewa untuk membawa pesan Ilahi yang memaki bahasa langit kepada manusia yang menggunakan bahasa dunia.
Menurut istilah, Hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam siatuasi sekarang. Objek kajian utamanya adalah pemahaman makna pesan yang terkandung dalam teks dengan variebelnya. Dengan demikian, pendekatan ini bertugas mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja suatu teks untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan makna itu muncul.
Ada tiga unsur utama dalam hermeneutik: penggagas, teks dan pembaca. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur tersebut menjadi titik beda masing-masing hermeneutik. Titik beda itu dapat dikelompokan menjadi tiga kategori hermeneutik:
a. Hermeneutik Teoritis. Yaitu bentuk hermeneutik yang menitikberatkan pada pemahaman kebenaran yang dikehendaki oleh penggagas teks. Agar pembaca memahami makna yang dikehendaki penggagas dalam teks, hermeneutik teoritis mengasumsikan seorang pembaca harus menyamakan posisi dan pengalaman dengan penggagas melalui mengosongkan diri dari sejarah hidup yang membentuk dirinya, kemudian memasuki sejarah hidup dan menyelami pengalaman penggagas dengan cara berempati kepada penggagas. Untuk mencapai pada makna objektif, terdapat empat hal yang harus diperhatikan: (1) penafsir melakukan investigasi fenomena linguistic teks, (2) penafsir harus mengosongkan dirinya dari segala bentuk kepentingan, (3) penafsir menempatkan dirinya dalam posisi seorang penggagas melalui imajinasi dan wawasan, (4) melakukan rekonstruksi untuk memasukan situasi da kondisi untuk memperoleh hasil yang ingin dicapai dari ungkapan teks.
b. Hermeneutik Filosofis. Hermeneutik ini mengacu pada “watak” interpretasi dan “tindakan” memahami. Memahami adalah sebuah fusi horizon-horizon: horizon penafsir (tradisi dan sejarah penafsir yang kemudian membentuk pra-pemahaman) dan horizon teks (sejarah teks). Mamahami adalah tindakan sirkuler antara teks dan pembaca yang disebut fusion of horizon, yakni mempertemukan/menegosiasikan pra-pemahaman pembaca dengan cakrawala atau horizon teks. Hermeneutik filosofis bertolak pada empat kunci: (1) kesadaran pada situasi yang membatasi (situasi hermeneutik) kemampuan melihat seseorang dalam membaca teks, (2) situasi hermeneutik membentuk pra-pemahaman yang mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks, (3) menggabungkan antara dua horizon, (4) menerapkan makna yang berarti dari teks, yang mempunyai nilai bagi kehidupan pembaca, bukan penggagas.
c. Hermeneutik Kritis. Bertujuan untuk mengungkap kepentingan atau mengkritisi sesuatu yang berada di luar teks, yakni dimensi ideologis penafsir dan teks sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karena itu, teks harus ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai.
7. Pendekatan Filosofis
Filsafat secara etimologi berasal dari bahasa Yunani philos yang berarti suka/cinta dan sophia yang berarti kebijaksanaan. Filsafat dalam arti formal berarti suatu proses kitik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi secara bebas, bertanggungjawab, radikal, universal, konseptual, komprehensif, koheren dan konsisten serta sistematis. Louis O. Kattsof mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung, tetapi merenung bukanlah melamun, juga bukan berpikir secara kebetulan yang bersifat untung-untungan, melainkan dilakukan secara mendalam, radikal, sistematik dan universal.
Pendekatan filosofis menentang hal-hal yang biasa kita terima taken for ganted, karena filsafat memaksa kita memikirkan keyakinan-keyakinan yang mungkin tidak pernah kita pertanyakan. Pendekatan filosofis terhadap agama adalah suatu proses rasional yang mencangkup dua hal: (1) kita menunjukkan fakta bahwa akal memainkan peranan fundamental dalam refleksi pengalaman dan keyakinan keagamaan dalam suatu tradisi keagamaan, (2) kita menunjukkan fakta bahwa dalam menguraikan keimanan, tradisi keagamaan harus dapat menggunakan akal dalam memproduksi argument-argumen logis ketika membuat klaim-klaim yang dapat dibenarkan.
Pada intinya, filsafat berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah dari sesuatu yang berada di balik objek formalnya. Berpikir filosofis dapat digunakan dalam memahami ajaran agama dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Melalui pendekatan filosofis, seseorang tidak akan terjebak dalam pengamalan agama yang bersifat formalistik yang kosong makna. Secara metodologis, pendekatan ini memberikan harapan segar terhadap dialog keagamaan serta diskusi yang lebih mendalam secara terbuka, jujur dan adil, sehingga terbukalah kebenaran yang dapat diterima semua golongan.
8. Pendekatan Interkonektif
Maksud pendekatan interkonektif adalah kajian dengan menggunakan sejumlah pendekatan atau perspektif yang saling dihubungkan antara satu sama lain untuk mencapai titik temu atau hasil kebenaran yang lebih valid. Hampir setiap pendekatan memiliki keterbatasan, dan tidak jarang antara pendekatan satu dengan yang lain saling melengkapi. Maka dari itu, menggunakan pendekatan secara integral menjadi penting guna mencapai hasil yang lebih valid, meskipun belum mencapai kebenaran absolute akan tetapi telah mencapai kebenaran yang komprehensif.
Mempelajari Islam dalam konteks kehidupan modern bagaikan melihat sebuah benda dalam ruangan gelap. Keempat sisi ruangan itu terdapat sebuah pintu. Masing-masing pintu memiliki lubang kunci. Penglihatan seseorang tentang Islam sesungguhnya merupakan hasil intipan dari salah satu lubang kunci. Bisa dipastikan, hasil penglihatan satu orang akan berbeda dengan yang lain, tergantung dari lubang kunci sebelah mana dia melihatnya. Islam tetap absolute, akan tetapi perspektif kita terhadap Islam lah yang relative. Maka dari itu, agar pemahaman tentang Islam lebih dekat pada Islam absolute, maka yang perlu dilakukan adalah mensinergikan antar pengkaji, yakni mendekati Islam dengan pendekatan interkonektif.
Penggunaan pendekatan yang integral memang seharusnya terjadi, kalau tidak menjadi petanda bahwa agama semakin tidak mendapat perhatian. Pendekatan ini dimaksudkan agar Islam mampu dipahami secara lebih komprehensif sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan yang semakin komplek dan lengkap.
C. Urgensi dan Manfaat Studi Islam
MSI merupakan respon atas gejala studi Islam kontemporer yang menjadikan Islam selain sebagai agama juga sebagai disiplin ilmu yang mandiri. Sebagai sebuah disiplin ilmu, Islam tentu tidak lagi terbatas pada kajian doktriner tapi juga merambah pada bidang-bidang nondoktriner.
Disamping itu, MSI merupakan solusi agar Islam tidak mudah disalahpahami oleh outsider. MSI bisa mengantarkan para penggunanya, baik muslim atau non-muslim, untuk mencapai common ground tentang gambaran Islam yang sesungguhnya. Karena MSI selalu terbuka (open-minded) bagi setiap pengkaji Islam dan mengutamakan dialog sehingga membantu tercapainya pemahaman intelektual (intelectual understanding) antar semua pengkaji. MSI juga mengandung metodologi yang cair (fluid methodology) yang dapat menggambarkan kompleksitas Islam.
Studi Islam memiliki dua fungsi. Yang pertama adalah fungsi akademik (keintelektualan), yakni umat Islam akan mampu memahami ajaran Islam secara komprehensif dan universal dan akan mempermudah dalam memahami berbagai dimensi ajaran Islam, serta memiliki wawasan yang utuh dan integral tentang Islam. Adapun fungsi yang kedua adalah fungsi pragmatik (problem solving), yakni mengembangkannya untuk mengetahui akar masalah dalam suatu permasalahan agama, responsif terhadap permasalahan-permasalahan aktual dengan memberikan solusi yang praktis-aplikatif.

KESIMPULAN

Studi Islam adalah penelitian secara komprehensif terhadap relevansi pemahaman doktrin Islam yang bersifat teoritis dalam syari’at (normative / law in book) dengan realita social keagamaan Islam yang praktis-aplikatif dalam masyarakat (histories / law in action).
Dalam studi Islam terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan, antara lain: pendekatan teologis normatif, sosiologis, antropologis, historis, semantik, hermeneutik dan filosofis. Masih banyak lagi pendekatan yang dapat digunakan dalam studi Islam, akan tetapi saya rasa penyebutan pendekatan-pendekatan di atas sudah cukup representatif untuk sekedar mengenal MSI. Pada pendekatan terakhir saya menambahkan pendekatan interkonektif, sebagai pendekatan alternatif terhadap beberapa pendekatan yang masing-masing mempunyai kekurangan.
Ada banyak manfaat yang dapat kita petik dari mempelajari studi Islam. Biasanya dapat dikategorikan dalam dua fungsi. Yang pertama adalah fungsi akademik (keintelektualan), yakni umat Islam akan mampu memahami ajaran Islam secara komprehensif dan universal dan akan mempermudah dalam memahami berbagai dimensi ajaran Islam, serta memiliki wawasan yang utuh dan integral tentang Islam. Adapun fungsi yang kedua adalah fungsi pragmatik (problem solving), yakni mengembangkannya untuk mengetahui akar masalah dalam suatu permasalahan agama, responsif terhadap permasalahan-permasalahan aktual dengan memberikan solusi yang praktis-aplikatif.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Baedhowi. Humanisme Islam: Kajian terhadap Pemikiran Filosofis Muhammad Arkoun. Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Connolly, Peter. Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri. Yogyakarta: LKiS, 2002.
Fanani, Muhyar. Metode Study Islam: Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara Pandang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Hakim, Atang Abd. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Kattsof, Louis O. Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.
Mustansyir, Rizal. Filsafat Ilmu. Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Nasution, Khoirudin. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2007.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Isam. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Wijaya, Aksin. Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya. Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.


Tidak ada komentar: