Motto

"MEMBACA UNTUK MENULIS, MENULIS UNTUK DIBACA"

Kamis, 16 Agustus 2012

KHITTAH PERJUANGAN MUHAMMADIYAH

KHITTAH PERJUANGAN MUHAMMADIYAH




HAKIKAT MUHAMMADIYAH
Perkembangan masyarakat Indonesia, baik yang disebabkan oleh daya dinamik dari dalam ataupun karena persentuhan dengan kebudayaan dari luar, telah menyebabkan perubahan tertentu. Perubahan itu menyangkut seluruh segi kehidupan masyarakat, diantaranya bidang sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan, yang menyangkut perubahan strukturil dan perubahan pada sikap serta tingkah laku dalam hubungan antar manusia.
Muhammadiyah sebagai gerakan, dalam mengikuti perkembangan dan perubahan itu, senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi-mungkar, serta menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang sesuai dengan lapangan yang dipilihnya ialah masyarakat, sebagai usaha Muhammadiyah untuk mencapai tujuannya: "menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.
Dalam melaksanakan usaha tersebut, Muhammadiyah berjalan diatas prinsip gerakannya, seperti yang dimaksud di dalam Matan Keyakinan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.
Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah itu senantiasa menjadi landasan gerakan Muhammadiyah, juga bagi gerakan dan amal usaha dan hubungannya dengan kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan, serta dalam bekerjasama dengan golongan Islam lainnya.

MUHAMMADIYAH DAN MASYARAKAT
Sesuai dengan khittahnya, Muhammadiyah sebagai Persyarikatan memilih dan menempatkan diri sebagai Gerakan Islam amar-ma'ruf nahi mungkar dalam masyarakat, dengan maksud yang terutama ialah membentuk keluarga dan masyarakat sejahtera sesuai dengan Dakwah Jamaah.
Di samping itu Muhammadiyah menyelenggarakan amal-usaha seperti tersebut pada Anggaran Dasar Pasal 4, dan senantiasa berikhtiar untuk meningkatkan mutunya
Penyelenggaraan amal-usaha, tersebut merupakan sebagian ikhtiar Muhammadiyah untuk mencapai Keyakinan dan Cita-Cita Hidup yang bersumberkan ajaran Islam dan bagi usaha untuk terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.

MUHAMMADIYAH DAN POLITIK
Dalam bidang politik Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya: dengan dakwah amar ma ma'ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil, secara operasionil dan secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 menjadi masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera, bahagia, materiil dan spirituil yang diridlai Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha itu, Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada kepribadiannya
Usaha Muhammadiyah dalam bidang politik tersebut merupakan bagian gerakannya dalam masyarakat, dan dilaksanakan berdasarkan landasan dan peraturan yang berlaku dalam Muhammadiyah.
Dalam hubungan ini Muktamar Muhammadiyah ke-38 telah menegaskan bahwa:
Muhammadiyah adalah Gerakan Dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu Partai Politik atau Organisasi apapun.
Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah.

MUHAMMADIYAH DAN UKHUWAH ISLAMIYAH
Sesuai dengan kepribadiannya, Muhammadiyah akan bekerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan Agama Islam serta membela kepentingannya.
Dalam melakukan kerjasama tersebut, Muhammadiyah tidak bermaksud menggabungkan dan mensubordinasikan organisasinya dengan organisasi atau institusi lainnya.

DASAR PROGRAM MUHAMMADIYAH
Berdasarkan landasan serta pendirian tersebut di atas dan dengan memperhatikan kemampuan dan potensi Muhammadiyah dan bagiannya, perlu ditetapkan langkah kebijaksanaan sebagai berikut:
Memulihkan kembali Muhammadiyah sebagai Persyarikatan yang menghimpun sebagian anggota masyarakat, terdiri dari muslimin dan muslimat yang beriman teguh, ta'at beribadah, berakhlaq mulia, dan menjadi teladan yang baik di tengah-tengah masyarakat.
Meningkatkan pengertian dan kematangan anggota Muhammadiyah tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan kepekaan sosialnya terhadap persoalan-persoalan dan kesulitan hidup masyarakat.
Menepatkan kedudukan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai gerakan untuk melaksanakan dakwah amar-ma'ruf nahi-mungkar ke segenap penjuru dan lapisan masyarakat serta di segala bidang kehidupan di Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.

Minggu, 15 Juli 2012

ASPEK HUKUM LEMBAGA KEUANGAN BANK

ASPEK HUKUM LEMBAGA KEUANGAN BANK

oleh:
Mushlih Candrakusuma



PENDAHULUAN

Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu Negara. Lembega tersebut dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of fund) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lack of fund). Dengan demikian perbankan akan bergerak dalam kegiatan pengkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme system pembayaran bagi semua sector perekonomian.
Dinamika perkembangan lembaga perbankan yang terus berkembang dipengaruhi oleh hokum positif yang mengatur lembaga perbankan, yang secara langsung maupun tak langsung memberi pengaruh terhadap bentuk dan kegiatan lembaga perbankan di suatu tempat. Hal tersebut dapat kita rasakan dalam kehidupan kegiatan perbankan di Indonesia dengan munculnya peraturan-peraturan yang ditujukan untuk lembaga perbankan yang begitu gencar dikeluarkan oleh pemerintah.
Gencarnya pembentukan hokum perbankan saat ini adalah bentuk upaya penyempurnaan terhadap hokum yang telah ada. Hal ini dimaksudkan agar perbankan di Indonesia memiliki landasan gerak yang kokoh yang membawa ke arah sikap yang lebih tanggap terhadap perkembangan pembangunan nasional, sehingga perbankan nasional mampu menjadi pelaku pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta berperan dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, serta berperan dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional. Dengan demikian peranan perbankan nasional dapat terwujud secara lebih nyata dalam rangka mewujudkan masyarakat adil makmur berdasar pancasila dan UUD ’45.


PEMBAHASAN

A. Pengertian Lembaga Keuangan Bank
Istilah bank berasal dari bahasa Itali yaitu Banko yang pada awalnya merupakan kegiatan para penukar uang (money-changer) di pelabuhan-pelabuhan yang banyak kelasi kapal dan para wisatawan yang dating dan pergi. Mulanya kegiatan ini dilakukan denagan cara meletakkan uang penukar di atas meja di tempat-tempat umum. Meja tempat meletakkan uang itulah yang disebut Banko.
Dengan demikian istilah bank merupakan pengmbangan lebih lanjut dari istilah banko yang sebenarnya dimaksudkan sebagai symbol bagi alat penukaran. Menurut UU no. 7 tahun 1992 tentang perbankan, yang dimaksud dengan Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. (pasal 1 angka 1).
Dari definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa bank merupakan perusahaan yang memperdagangkan utang piutang baik yang berupa uang sendiri maupun uang maupun uang masyarakat, dan memperedarkan uang tersebut untuk kepentingan umum.
Definisi bank menurut UU no. 14/1967 pasal 1 tentang pokok-pokok perbankan adalah suatu jenis lembaga keuangan yang melaksanakan berbagai macam jasa, seperti memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang, pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan benda-benda berharga, membiayai usaha perusahaan-perusahaan dan lain-lain.
Dilihat dari fungsinya, terdapat berbagai macam definisi tentang bank yang terbagi menjadi tiga kelompok:
1. Bank sebagai penerima kredit. Dalam pengertian ini bank menerima uang serta dana-dana dari masyarakat dalam bentuk:
a. simpanan / tabungan yang dapat diminta dan diambil kembali setiap saat.
b. deposito berjangka yang merupakan tabungan / simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan setelah jangka waktu yang telah ditentukan habis.
c. simpanan dalam rekening koran / giro atas nama si penyimpan giro, yang penarikannya hanya dapat dilakukan dengan menggunakan cek, bilyet giro atau perintah tertulis pada bank.
Pengertian ini mencerminkan bahwa bank melaksanakan operasi perkreditan secara pasif dengan menghimpun uang dari pihak ketiga.
2. Bank sebagai pemberi kredit. Hal ini berarti bank melaksanakan operasi perkreditan secara aktif, tanpa mempermasalahkan apakah kredit itu berasal dari deposito / tabungan yang diterimanya atau bersumber ada penciptaan redit yang dilakukan oleh bank itu sendiri.
3. Bank sebagai pemberi kredit bagi masyarakat melalui sumber yang berasal dari modal sendiri, simpanan / tabungan masyarakat maupun melalui penciptaan uang bank.
B. Hukum Perbankan
Hukum perbankan Indonesia adalah sebagai hokum yang mengatur masalah-masalah perbankan yang berlaku sampai sekarang di Indonesia. Dengan demikian akan dibicarakan aturan-aturan perbankan yang positif masih berlaku sampai saat ini. Hokum perbankan adalah sekumpulan peraturan hokum yang mengatur kegiatan lembaga keuangan bank meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi dan eksistensinya, serta hubungannya dengan bidang kehidupan yang lain.
Dari rumusan tersebut akan terungkap bahwa pengaturan di bidang perbankan akan menyangkut:
1. Dasar-dasar perbankan, yaitu menyangkut asas-asas kegiatan perbankan.
2. Kedudukan hokum pelaku di bidang perbankan.
3. Kaidah-kaidah perbankan yang secara khusus memperhatikan kepentingan umum.
4. Kaidah-kaidah yang menyangkut struktur organisasi.
5. Kaidah-kaidah yang mengarahkan kahidupan perekonomian berupa kemampuannya untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai melalui organisasi.
6. Keterkaitan hokum yang secara logis berhubungan antara satu sama lain.
Hokum perbankan ini merupakan suatu system, yaitu satu kesatuan yang bersifat kompleks yang terdiri dari bagian-bagian yang bekerja sama secara aktif mncapai tujuan pokok dari kesatuannya. Dengan demikian Hukum Perbankan yang merupakan satu system akan mengandung pengertian-pengertian dasar berupa orientasi kepada tujuan serta berinteraksi dengan system yang lebih besar.
C. Sumber Hukum Perbankan di Indonesia
Sumber hokum perbankan di Indonesia menyangkut sumber hokum formal dan sumber hokum material. Sumber hokum dalam arti material adalah sumber hokum yang menentukan isi hokum itu sendiri. Seorang ahli perbankan akan cenderung menyatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan terhadap lembaga perbankan dalam suatu masyarakat itulah yang menimbulkan isi hokum yang bersangkutan.
Sedangkan untuk sumber hokum formal di Indonesia, kita akan selalu menempatkan UUD 1945 sebagai sumber utamanya. Urutan sumber hokum formal mengenai perbankan adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945 (terutama pasal 33)
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, terutama mengenai Garis-Garis Besar Haluan Negara
3. Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan
4. Undang-Undang No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral
5. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
6. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dan UU Kepailitan
7. Peraturan Pemerintah
8. Surat Keputusan Presiden
9. Instruksi Presiden
10. Surat Keputusan Menteri Keuangan
11. Surat Edaran Bank Indonesia
12. Peraturan lainnya yang berhubungan erat dengan kegiatan perbankan.
D. Jenis dan Macam Lembaga Perbankan
Berdasarkan Undang-Undang No. 14 tahun 1967 terdapat berbagai jenis bank. Melihat praktek operasional perbankan yang ada, kita dapat membedakan jenis-jenis bank. Jenis bank secara toeritis ditentukan dari segi fungsi, kepemilikan dan dari segi penciptaan uang giral.
Dari segi fungsi dan tujuan usahanya, ada empat jenis bentuk bank, yaitu:
a. Bank Sentral (Central Bank), adalah bank yang dapat bertindak sebagai bankers bank pimpinan penguasa moneter yang mendorong dan mengarahkan semua bank yang ada. Yang berfungsi sebagai bank sentral disini adalah Bank Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan yang didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 13 tahun 1968.
b. Bank Umum (Comercial Bank), yaitu bank milik Negara, swasta maupun koperasi yang dalam pengumpulan dananya menerima simpanan dalam bentuk giro, deposito serta tabungan dan dalam usahanya terutama memberikan kredit jangka panjang. Disebut bank umum karena bank tersebut mendapatkan keuntungan dari selisih bunga yang diterima dari peminjam dengan yang dibayarkan oleh bank kepada depositor (spread).
c. Bank Tabungan (Saving Bank), ialah bank yang dalam pengumpulan dananya menerima simpanan dalam bentuk tabungan serta dalam usahanya memperbungankan dananya dalam bentuk kertas berharga.
d. Bank Pembangunan (Development Bank), yaitu bank yang dalam pengumpulan dananya menerima simpanan dalam bentuk deposito dan atau mengeluarkan kertas berharga jangka menengah dan panjang, sedangkan dalam dalam usahanya memberikan kredit jangka panjang dan menengah di bidang pembangunan.
e. Bank Desa (Rural Bank), yaitu bank yang menerima simpanan dalam bentuk uang dan natura (padi, jagung dsb) dan dalam usahanya memberikan kredit jangka pendek dalam bentuk uang maupun dalam bentuk natura kepada sector pertanian dan pedesaan.
Dari segi kepemilikannya, kita mengenal ada empat jenis, yaitu:
a. Bank Milik Negara, yang terdiri dari:
 Bank Indonesia (UU No. 13 1968)
 Bank-bank Umum Milik Negara yang terdiri dari: Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Bumi Daya (BBD), Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Eksim).
 Bank Tabungan Negara (BTN)
 Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo)
b. Bank Milik Pemerintah Daerah, yaitu bank-bank pembangunan daerah yang terdapat pada setiap daerah tingkat I. Bank ini didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 13 tahun 1962.
c. Bank-Bank Milik Swasta, yang terbagi menjadi tiga macam:
 Bank-bank milik swasta nasional, yaitu bank-bank yang seluru sahamnya dimiliki warga Negara Indonesia atau badan-badan hokum yang peserta dan pemimpinnya terdiri atas warga Negara Indonesia. Pendirian bank-bank milik swasta berdasarkan SK Men.Keu. No. Kep/603/M/IV/12/1968 tanggal 18-12-1968.
 Bank-bank milik swasta asing, yaitu bank-bank yang seluruh sahamnya dimiliki oleh warga Negara asing atau badan-badan hokum yang peserta dan pemimpinnya terdiri atas warga Negara asing. Bank ini didirikan berdasarkan SK Men.Keu. No. 034/MK/IV/2/1968 tanggal 20-02-1968.
 Kerja sama antara bank swasta nasional dan swasta asing, yaitu gabungan bank swasta nasional dengan swasta asing yang disebut Bank Perdagangan Indonesia (Perdania), yang didirikan pada tanggal 26-09-1965 bedasar SK Men.Keu. No. J. A. 5/15/11.
d. Bank Koperasi, yaitu bank yang modalnya berasal dari perkumpulan-perkumpulan koperasi. Bank koperasi didirikan berdasarkan SK Men.Keu. No. Kep. 800/MK/IV/II/1969 tanggal 22-11-1969 dan Surat Keputusan Bersama Gubernur Bank Indonesia dan Mentranskop No. 19a/GBI/72 per 350/KPTS/MENTRANSKOP/192 tanggal 16-08-1972. Dewasa ini terdapat sebuah bank umum koperasi yaitu Bank Umum Koperasi Indonesia (BUKOPIN), yang diresmikan 1987.
Sedangkan dilihat dari segi penciptaan uang giral, terdapat dua jenis bank, yaitu:
a. Bank Primer, yaitu bank yang dapat menciptakan uang giral melalui simpanan masyarakat yang ada padanya yaitu simpanan likuid dalam bentuk giro. Yang tergolong dalam bank primer adalah:
 Bank Sirkulasi (Bank Sentral), yang dapat menciptakan kredit dalam bentuk uang kertas bank dan uang giral.
 Bank Umum, bank yang dapat menciptakan uang giral.
b. Bank Sekunder, yaitu bank-bank yang tidak bisa menciptakan uang melalui simpanan masyarakat yang apa adanya, bank ini hanya bertugas sebagai perantara dalam menyalurkan kredit.
E. Usaha Bank
Kegiatan usaha perbankan umumnya adalah pengumpulan dana, pemberian kredit, bank garansi, menyewakan tempat penyimpanan barang-barang berharga (save deposit box), melakukan kegiatan dalam valas, melakukan kegiatan penyertaan modal dan bertindak sebagai pendiri dan pensiun lembaga keuangan, dan trust atau kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan kontrak.
Ketentuan perbankan Indonesia menentukan usaha bank, harus sesuai dengan jenis bank, yaitu bahwa jenis bank menentukan kegiatan usaha yang dapat dilakukannya maka kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum akan banyak berbeda dengan usaha yang dapat dilakukan oleh BPR. Pasal 6 UU Perbankan 1992 menentukan bahwa usaha bank umum meliputi:
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
2. Memberi kredit.
3. Menerbitkan surat pengakuan hutang
4. Membeli, menjual atau menjamin atas resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya.
5. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan nasabah.
6. Menempatkan dana, meminjam dana atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya.
7. Menerima pembayaran atas tagihan surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak lain.
8. Meneyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat bergarga.
9. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak.
10. Melakukan penempatan dana dari nasabah ke nasabah lain dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek.
11. Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.
12. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat.
13. Menyediakan pembiayaan dari bagi nasabah berdasarkankan prinsip bagi hasil.
14. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan perundangan yang berlaku.


KESIMPULAN

Perbankan adalah suatu jenis lembaga keuangan yang melaksanakan berbagai macam jasa, seperti memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang, pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan benda-benda berharga, membiayai usaha perusahaan-perusahaan dan lain-lain. Hokum perbankan adalah sekumpulan peraturan hokum yang mengatur kegiatan lembaga keuangan bank meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi dan eksistensinya, serta hubungannya dengan bidang kehidupan yang lain.
Sumber hokum perbankan di Indonesia menyangkut sumber hokum formal dan sumber hokum material. Sumber hokum dalam arti material adalah sumber hokum yang menentukan isi hokum itu sendiri. Seorang ahli perbankan akan cenderung menyatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan terhadap lembaga perbankan dalam suatu masyarakat itulah yang menimbulkan isi hokum yang bersangkutan. Sedangkan untuk sumber hokum formal di Indonesia, kita akan selalu menempatkan UUD 1945 sebagai sumber utamanya.
Kegiatan usaha perbankan umumnya adalah pengumpulan dana, pemberian kredit, bank garansi, menyewakan tempat penyimpanan barang-barang berharga (save deposit box), melakukan kegiatan dalam valas, melakukan kegiatan penyertaan modal dan bertindak sebagai pendiri dan pensiun lembaga keuangan, dan trust atau kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan kontrak.


DAFTAR PUSTAKA

Lubis, Suhrawardi K. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
Suyatno,Thomas. Kelembagaan Perbankan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1993.

PERENCANAAN DALAM PENGORGANISASIAM

Oleh :
Mushlih Candrakusuma



PENDAHULUAN

Kelancaran serta keberhasilan suatu proses kegiatan agar dapat mencapai tujuannya secara efektif dan efisien, ditentukan oleh adanya perencanaan yang matang, organisasi yang tepat, sebagai suatu sistem yang harmonis dan dikelola oleh pelaksana yang kompeten dan berdedikasi. Perencanaan ini pada hakikatnya merupakan salah satu fungsi lainnya dan peranannya dirasakan sangat penting.
Perencanaan adalah suatu ikhtiar untuk menjamin agar setiap usaha kerja sama itu berhasil dengan sukses, bukan saja “apa” yang harus diperbuat, melainkan “bagaimana”, “kapan” dan oleh “siapa”segala sesuatu itu harus dilaksanakan. Untuk itu dalam pembahasan makalah ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan perencanaan, diantaranya ciri-ciri, manfaat, proses perencanaan dll, Agar suatu kelancaran serta keberhasilan dapat dicapai. Atas ladasan dasar di atas, maka kami merasa perlu untuk membuat makalah mengenai “Perencanaan” tersebut.


PEMBAHASAN
A. Pengertian
Perencanaan berarti mengambil keputusan tentang hal-hal yang akan dilakukan dimasa depan dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran organisasi, agar resiko kegagalan atau kekurangberhasilan dapat dikurangi meskipun mungkin tidak bisa dihilangkan . Perencanaan adalah pemahaman yang memerlukan dedikasi untuk bertindak berdasarkan kontemplasi mengenai masa depan, suatu determinasi untuk merencanakan secara konstan dan sistematis sebagai bagian integral manajemen . Perencanaan merupakan suatu proses yang kontinu yang meliputi rencana dan pelaksanaan, yang terdapat unsur-unsur:
a. Mempunyai ciri-ciri yang berorientasi kepada pelaksanaan di masa mendatang.
b. Proses yang kontinuitas dan fleksibelitas.
c. Mengusahakan perencanaan dapat seoperasional mungkin dalam mencapai tujuan.
d. Adanya sistem pengecualian pelaksanaan rencana yaitu keserasian antara pelaksanaan dengan perencanaan.
e. Adanya sistem pelaporan dan evaluasi dalam proses perencanaan.
Perencanaan juga dapat dikatakan tindakan yang menyeluruh yang berusaha mengoptimalkan dana, sarana dan lain-lain dari suatu sistem. Perencanaa itu penting, karena perencanaan akan memberi efek baik pada pelaksanaan maupun pengawasan. Suatu perencanaan merupakan langkah pertama dalam usaha mencapai suatu kegiatan. Perencanaan pada hakikatnya adalah usaha yang dilakukan secara sadar dan terus-menerus serta diorganisasikan untuk memilih yang terbaik dari berbagai alternatif yang ada bagi pencapaian tujuan tertentu. Dengan melihat berbagai pengertian diatas, maka secara umum dapat diambil pengertian perencanaan sebagai berikut: Perencanaan adalah suatu kegiatan dalam organisasi dalam rangka usaha mencapai suatu tujuan.
B. Ciri-Ciri Perencanaan
Dengan memperhatikan pengertian perencanaan sebagaimana dijelaskan di atas, maka ciri-ciri perencanaan adalah sebagai berikut:
1. Melihat jauh ke depan, dalam arti bersangkutan dengan masa depan, termasuk jangka waktunya.
2. Adanya tujuan, yang ditetapkan sebelumnya (tujuan tertentu), berupa program kegiatan dan cara-cara pencapaianya.
3. Penentuan cara-cara pencapaian dengan penetapan:
a. Kebijaksanaan
b. Strategi
c. Peraturan
d. Standar
e. Organisasi
f. Prosedur
4. Adanya penghitungan
a. Penggunaan sumber-sumber dana
b. Penggunaan sumber-sumber daya
c. Penggunaan waktu
d. Usaha-usaha untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi
Suatu rencana dapat dikatakan baik, apabila memenuhi syarat-syarat tertentu, sebagai berikut:
1. Jelas dan dapat dimengerti serta dapat menjawab pertanyaan: apa, mengapa, bagaimana, bilamana, siapa serta mengadakan penilaian, penyesuaian, dan perubahan.
2. Pragmatis, yaitu disertai perhitungan-perhitungan konkrit, berdasarkan asumsi yang logis.
3. Operasional, ialah dapat dilaksanakan dengan kemampuan yang ada.
4. Ambisius, tetapi tetap realistis.
5. Berlangsungnya melalui pentahapan waktu secara konsisten.
6. Fleksibel dalam arti sewaktu-waktu dapat di sesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berubah dari asumsi semula.
7. Ada skala prioritas, rencana yang baik sesuai dengan kemampuan, bukan berdasarkan kemauan.
C. Manfaat Perencanaan
Sebuah perencanaan mempunyai beberapa manfaat:
1. Sebagai alat efesiensi dan alat untuk mengurangi biaya (a cost reducingtool).
2. Sebagai alat pengarahan kegiatan kepada pencapaian tujuan.
3. Pembentuk masa datang dengan mengusahakan supaya ketidakpastian dapat dibatasi seminimal mungkin.
4. Alat-alat untuk memilih alternatif cara terbaik atau kombinasi alternatif cara yang terbaik.
5. Alat penentuan skala prioritas dari pentingnya suatu tujuan, sasaran maupun kegiatan.
6. Alat pengukur/standar untuk pengawasan dan penilaian (control and evaluation)
D. Faktor Perencanaan
Dengan merangkaikan hubungan antara suatu rencana yang baik dengan proses perencanaan itu sendiri, maka untuk menyusun suatu rencana yang baik diperlukan beberapa faktor sebagai berikut:
1. Suatu rencana hendaknya disusun oleh tenaga yang benar-benar mengetahui teknik perencanaan.
2. Rencana harus dibuat oleh orang yang mendalami tujuan organisasi.
3. Rencana harus didukung oleh data/informasi, ide-ide yang relevan.
4. Rencana hendaknya disusun oleh orang yang mengetahui sifat hakiki dari pada permasalahan serta mampu melihat kedepan (forcast).
Suatu rencana yang telah disusun, tentu diharapkan akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan organisasi. Pada dasarnya perencanaan itu lebih mudah di pahami daripada digunakan dan dilaksanakan. Beberapa hambatan penggunaan dan pelaksanaan perencanaan mengalami kesukaran baik dari dalam maupun dari luar organisasi itu sendiri. Hambatan dari dalam misalnya belum tersedia ahli perencanaan yang profesional, belum tersusunnya data-data yang variabel dan akurat, belum jelas tujuan dan cara-cara pencapaian tujuan. Hambatan dari luar misalnya disebabkan terbatasnya dana yang diperlukan, adanya ketentuan-ketentuan yang harus dikaitkan dan memerlukan pemikiran, pengarah waktu, situasi, kondisi lingkungan.
E. Tingkatan Perencanaan
Sebuah tingkatan perencanaan yang berlainan dapat dikenali berdasarkan cakrawala perencanaan tiap tingkatan. Tiga tingkatan yang sering disebut dalam bacaan adalah:
1. Perencanaan strategis, berhubungan dengan pertimbangan jangka-panjang. Keputusan yang harus diambil berhubungan dengan bidang usaha dimana perusahaan berada, pasar tempat menjualnya, bauran produk dll.
2. Perencanaan taktis, berhubungan dengan cakrawala perencanaan jangka menengah, misalnya: cara sumber daya dicapai dan diatur, penstrukturan kerja, dan petugas yang dibutuhkan serta pelatihannya.
3. Perencanaan operasional, berhubungan dengan keputusan untuk operasi yang sedang berjalan, misalnya: penetapan harga, tingkat produksi, tingkat sediaan barang.
Pramono Atmadi mengatakan bahwa perencanaan mempunyai tingkatan-tingkatan sebagai berikut :
1. Perencanaan dan pengambilan keputusan. Suatu keputusan biasanya diambil karena adanya berbagai konflik dari berbagai pilihan. Keputusan tidak hanya diambil dari dari suatu kegiatan sebagai kebulatan tetapi keputusan dapat diambil dari langkah atau proses dalam perencanaan itu.
2. Perencanaan dan perkiraan masa depan. Perencanaan memang berkaitan dengan perkiraan masa depan. Perkiraan masa depan adalah perkiraan berbagai kondisi masa depan. Perencanaan selalu melihat dan mencangkup masa depan. Bila dihubungkan dengan perencanaan maka perkiraan masa depan cenderung untuk memperkirakan kegiatan apa yang dilakukan oleh pihak-pihak lain, memperkirakan kemungkinan hasil rencananya atau apa kondisi yang ingin dicapai dan apakah rencananya dapat mempengaruhi kondisi masa depan, sehingga rencana tujuan tercapai.
3. Perencanaan dan tujuan berkaitan sangat erat. Bila suatu rencana dikemukakan dan ditekankan sebagai hasil dari suatu harapan, maka rencana itu disebut tujuan.


KESIMPULAN

Perencanaan pada hakikatnya adalah usaha yang dilakukan secara sadar dan terus-menerus serta diorganisasikan untuk memilih yang terbaik dari berbagai alternatif yang ada bagi pencapaian tujuan tertentu.
Ciri-ciri perencanaan adalah sebagai berikut: melihat jauh ke depan dalam arti bersangkutan dengan masa depan, termasuk jangka waktunya, adanya tujuan yang ditetapkan sebelumnya (tujuan tertentu) berupa program kegiatan dan cara-cara pencapaianya, penentuan cara-cara pencapaian dengan penetapan, adanya penghitungan.
Sebuah perencanaan mempunyai beberapa manfaat: sebagai alat efesiensi dan alat untuk mengurangi biaya (a cost reducingtool), sebagai alat pengarahan kegiatan kepada pencapaian tujuan, pembentuk masa datang dengan mengusahakan supaya ketidakpastian dapat dibatasi seminimal mungkin, alat-alat untuk memilih alternatif cara terbaik atau kombinasi alternatif cara yang terbaik, alat penentuan skala prioritas dari pentingnya suatu tujuan, sasaran maupun kegiatan.
Untuk menyusun suatu rencana yang baik diperlukan beberapa faktor sebagai berikut: suatu rencana hendaknya disusun oleh tenaga yang benar-benar mengetahui teknik perencanaan, rencana harus dibuat oleh orang yang mendalami tujuan organisasi, rencana harus didukung oleh data/informasi, ide-ide yang relevan, rencana hendaknya disusun oleh orang yang mengetahui sifat hakiki dari pada permasalahan serta mampu melihat kedepan (forcast).
Perencanaan mempunyai tingkatan-tingkatan sebagai berikut: perencanaan strategis berhubungan dengan pertimbangan jangka-panjang, perencanaan taktis berhubungan dengan cakrawala perencanaan jangka menengah, perencanaan operasional berhubungan dengan keputusan untuk operasi yang sedang berjalan.

DAFTAR PUSTAKA

Davis, Gordon B. Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen. Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi. 1999.
Siagian, Sondang P.Manajemen Abad 21. Jakarta:Bumi Aksara. 1998.
Steiner, George A dan John B. Miner. Kebijakan dan Strategi Manajemen. Jakarta: Erlangga. 1988.
Widjaja, A.W. Perencanaan Sebagai Fungsi Manajemen. Jakarta: PT Bina Aksara. 1987.

"STUDI ISLAM" METODOLOGI KOMPREHENSIF KEAGAMAAN

"STUDI ISLAM"
METODOLOGI KOMPREHENSIF KEAGAMAAN


oleh :
Mushlih Candrakusuma



PENDAHULUAN

Islam di zaman sekarang telah mengalami permasalahan besar. Ilmu-ilmu keislaman telah mengalami krisis yang akut. Banyak problem kemanusiaan yang tidak mampu disentuh oleh ilmu-ilmu keislaman akibat anomali yang dimilikinya. sebut saja, misalnya, kasus korupsi, kolusi, nepotisme dan berbagai pembunuhan sadis yang ternyata dilakukan oleh seorang Muslim. Hal ini merupakan bukti bahwa ilmu Fiqih dan Akhlaq gagal dalam memandu masyarakat menuju perilaku taat pada norma susila dan hukum. Oleh karena itu perlu digunakan suatu pemahaman Islam yang menyeluruh (komprehensif), yang mengacu pada semua aspek.
Dalam kajian tentang pemahaman Islam, tidak banyak kajian yang mampu menjelaskan Islam secara menyeluruh sehingga muncul banyak masalah seperti yang disebutkan di atas. Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya, salah satunya kajian keagamaan yang terlalu normative (legalistic-formalistik) yang tidak memungkinkan kajian yang lebih bersifat luas dan komprehensif, serta menutup kemungkinan penggunaan metode-metode luar untuk ikut mengkaji agama. Dari sini nampak kelemahan dari pengkaji Islam itu sendiri yang terlalu fanatik terhadap metodologi kajian keagamaan yang pada fase selanjutnya menjadi sikap ta’ashub yang berakibat pada truth claim. Sehingga wajar jika Islam nampak teralienasi di zaman modern ini.
Perlu digunakan suatu metode baru dalam memahami Islam. Metode yang bersifat cair dan komprehensif, serta dengan pendekatan dan perspektif baru yang akan memperluas cakupan Islam itu sendiri. Islam adalah agama yang multi approach dan multi perspektive. Islam juga merupakan agama yang ”shalih li kulli zaman wa makan”. Atas landasan tersebutlah kami membuat makalah ini dengan harapan membuka paradigma baru dalam mengkaji Islam, serta memperkuat dan memperkukuh keyakinan agama kita agar tidak mudah terhegemoni dan membijakan sikap kita dalam setiap permasalahan keagamaan.

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Studi Islam
Study Islam dapat berarti mempelajari Islam atau melakukan penelitian pada Islam. Di kalangan para ahli masih terdapat pardebatan di sekitar permasalahan tentang Study Islam. Ada yang menuduh studi Islam merupakan revisi-subversif atas ilmu-ilmu keislaman, bahkan muncul anggapan bahwa studi Islam merupakan studi yang dirasuki pemikiran orientalist dan akan mendangkalkan iman seseorang tentang Islam. Hal ini jelas salah, karena sesungguhnya studi Islam merupakan respon atas gejala study Islam kontemporer yang menjadikan Islam selain sebagai agama, juga sebagai suatu disiplin ilmu.
Sebagai suatu disiplin ilmu, Islam tidak lagi terbatas pada kajian doktriner tapi juga merambah pada bidang-bidang nondoktriner seperti studi atas keadaan social masyarakat muslim, studi kawasan, studi alam pikiran muslim dan antropologi muslim. Studi Islam juga merupakan respon terhadap paham formalisme gejala keagamaan yang cenderung individualistic dan lebih mementingkan bentuk formal daripada sesuatu yang bersifat esensial. Disini disimpukan bahwa studi Islam merupakan penelitian secara komprehensif terhadap relevansi pemahaman doktrin Islam yang bersifat teoritis dalam syari’at (normative / law in book) dengan realita social keagamaan Islam yang praktis-aplikatif dalam masyarakat (histories / law in action).
Ketika menafsirkan studi Islam dalam arti penelitian, perlu terlebih dahulu ada kejelasan Islam pada level mana yang diteliti. Maka penyebutan Islam normative dan Islam historis sangat perlu. Islam normative adalah Islam sebagai wahyu, dan tentunya kurang tepat bila studi diartikan penelitian, akan tetapi disini studi dapat diartikan mempelajari, karena disini kita hanya taken for grented. Sedangkan Islam histories adalah Islam sebagai produk sejarah yang merupakan praktek dari ajaran Islam sejak masa Nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Pada kedua ruang lingkup inilah sebenarnya studi Islam menjalankan tugasnya.
Ada pula ilmuwan yang membuat ruang lingkup pengelompokan lain. Misalnya, Nasr Hamid Abu Zaid mengelompokan ruang lingkup studi Islam menjadi tiga wilayah, yaitu:
1. Wilayah teks asli Islam (the original text of Islam), yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad yang otentik.
2. Pemikiran Islam, yaitu ragam penafsiran terhadap teks asli. Dapat pula disebut hasil ijtihad atau pemahaman terhadap teks asli.
3. Praktek yang dilakukan kaum Muslim dalam berbagai macam latar belakang social.
Ada banyak lagi pengelompokan mengenai ruang lingkup studi Islam yang ditawarkan oleh beberapa tokoh. Akan tetapi kami rasa penjelasan tentang ruang lingkup di atas sudah cukup representative untuk mengetahui ruang lingkup studi Islam.
B. Berbagai Pendekatan Dalam Studi Islam
Sejalan dengan pembidangan ilmu dalam studi Islam, pendekatan studi Islam pun mengalami perkembangan. Ada beberapa istilah yang mempunyai arti hampir sama dan mrnunjukan tujuan yang sama dengan pendekatan, yaitu theoretical framework, conceptual framework, approach, perspektive, point of view dan paradigm. Semua istilah ini bisa diartikan cara memandang dan cara menjelaskan suatu gejala atau fenomena.
Karena telah menjadi disiplin ilmu, studi Islam perlu merekonstruksi ilmu-ilmu keislaman dengan cara mencangkok (mentransplantasi) dan menggunakan teori-teori serta metodologi-metodologi yang berasal dari luar kalangan sendiri. Dalam studi Islam, Islam dapat diteliti dengan menggunakan berbagai pendekatan (multi perspektif). Untuk lebih jelasnya, berbagai pendekatan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan normative adalah studi yang memandang masalah dari sudut pandang legal-formal (halal dan haram, benar dan salah). Dengan demikian, pendekatan teologis normative adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk form keagamaan yang masing-masing bentuk tersebut mengklaim dirinya yang paling benar (truth claim). Yang menjadi sifat dasar teologis normative adalah implikasi pembentukan mode of thought yang bersifat partikularistik, eksklusif, dogmatis, dan seringkali intoleran serta lebih menonjolkan segi-segi perbedaan.
Pendekatan ini menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena bersumber dari Tuhan, dan selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi. Menurut Fazlur Rahman pendekatan ini saraf dengan literatur-literatur yang hanya berupa komentar, penjelasan terhadap suatu karya, serta sangat sedikit membuat pikiran-pikiran maupun gagasan-gagasan baru. Menurutnya, doktrin-doktrn atau ajaran-ajaran Islam dalam suatu kurun sejarah tertentu harus mempunyai konsistensi, koherensi dan korespondensi, sehingga dalam wacana keagamaan harus ada pikiran dan gagasan baru guna memecahkan permasalahan yang kompleks.
Akan tetapi pendekatan ini sangat perlu karena dapat digunakan untuk menunjukan arah keyakinan dan transendensi melalui fokus yang memediasikan. Ada yang menempatkan ide tentang yang suci (the holy) sebagai gagasan sentral. Tidak ada agama ketika the holy tidak hidup sebagai inti paling dalam dari suatu kepercayaan. Hal ini menunjukkan suatu pandangan yang melihat agama sebagai pencarian dan respon manusia terhadap apa yang mereka alami sebagai the holy. Ilmuan lain ada yang lebih suka menggunakan istilah the sacred untuk menunjukan bahwa agama memiliki suatu elemen unik yang tidak dapat diabaikan. Titik perhatiannya adalah bagaimana manusia mengalami dan memahami the sacred dalam kehidupan mereka.
Agama bukan semata-mata suatu sarana memenuhi kebutuhan manusia, melainkan juga merupakan respon terhadap pengalaman manusia tentang yang suci. Untuk mencapai pada tingkatan inilah, pendekatan teologis normative menjadi sangat penting untuk digunakan.
2. Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat, struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena social dapat dianalisis dengan factor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari proses terjadinya sesuatu. Pendekatan sosiologi dalam memahami agama sangat perlu, karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial.
Dalam buku yang berjudul “Islam Alternatif”, Jalaludin Rahmat menunjukan pentingnya pendekatan sosiologis dalam mengkaji agama Islam, karena beberapa alasan, yaitu:
- Dalam Al-Qur’an atau kitab-kitab Hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Perbandingan ayat-ayat ibadah dengan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus.
- Adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan untuk ditinggalkan).
- Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran yang lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan.
- Terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal dikarenakan melanggar pantangan, maka kifaratnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
- Terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah.
Pendekatan sosial ini perlu memanfaatkan ilmu-ilmu sosial humaniora Barat sebagai pisau analisis, untuk menemukan solusi alternatif bagi pengembangan ilmu-ilmu keislaman agar dapat memberi manfaat bagi masyarakat terutama ketika harus menghadapi masalah-masalah baru zaman sekarang yang amat berbeda ketika ilmu-ilmu kaislaman telah disusun. Dalam pendekatan sosiologi, minimal ada tiga teori yang dapat digunakan dalam penelitian, yaitu:
a. Teori Fungsional, teori yang mengasumsikan masyarakat sebagai kesatuan dari kelompok-kelompok tertentu yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri yang berbeda dengan yang lain. Yang menjadi kajian adalah dengan melihat atau meneliti fenomena masyarakat dari sisi fungsinya. Langkah-langkah yang diperlukan dengan menggunakan teori ini adalah: (1) membuat identifikasi tingkah laku sosial yang problematik, (2) mengidentifikasi konteks terjadinya tingkah laku yang menjadi objek penelitian, (3) mengidentifikasi konsekuensi dari tingkah laku sosial.
b. Teori Interaksional, mengasumsikan bahwa dalam masyarakat pasti ada hubungan antara masyarakat dengan individu, atau hubungan antar individu. Teori ini sering diidentifikasi sebagai deskripsi interpretatif, yaitu pendekatan yang menawarkan analisis. Prinsip yang dikembangkan dalam pendekatan ini adalah: (1) bagaimana individu menyikapi sesuatu, atau apa saja yang ada di lingkungannya, (2) memberikan makna pada fenomena tersebut berdasarkan interaksi sosial yang dijalin dengan individu lain, (3) makna tersebut difahami dan dimodifikasi melalui proses interpretasi yang berkaitan dengan hal-hal yang dijumpai.
c. Teori Konflik, yaitu teori yang meyakini bahwa setiap masyarakat mempunyai kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) yang merupakan pusat dari segala hubungan sosial.
3. Pendekatan Antropologi
Pendekatan Antropologi adalah pendekatan dalam memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Berbeda denga pendekatan sosiologis, pendekatan ini menggunakan metode induktif serta penelitian grounded dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang abstrak.
Pendekatan ini digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran empiris atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. Dengan pendekatan ini kita dapat melihat korelasi antara agama dengan etos kerja dan perkembangan masyarakat, hubungan agama dengan mekanisme perorganisasian, serta hubungan antara agama dan negara (state and religion).
Selain itu, dengan melihat budaya sebagai pranata yang terus menerus dipelihara, kita akan mengetahui metode membumikan dan membudayakan Islam, serta mampu memilah dan membedakan antara budaya dan agama.
4. Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah ilmu yang membahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku peristiwa. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak melalui analisis sejarah. Melalui pendekatan sejarah, seorang peneliti akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis. Pendekatan sejarah bertujuan menemui inti karakter agama dengan menelusuri dan meneliti sumber klasik sebelum dicampuri dengan yang lain.
Dalam pendekatan sejarah, ada dua teori yang bias digunakan, pertama adalah idealist approach, yakni melakukan pemahaman dan penafsiran sejarah dengan mempercayai apa adanya suatu fakta. Kedua adalah reductionalist approach, yakni meneliti, memahami dan menafsirkan dengan penuh keraguan. Pendekatan sejarah dapat pula didekati dengan metode diakronik, sinkronik dan sistem nilai.
Kuntowijoyo juga melakuakan pendekatan sejarah dalam memahami agama. Ketika mempelajari Al-Qur’an, ia berkesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan Al-Qur’anterbagimenjadi dua bagian. Yang pertama berisi konsep-konsep, dan yang kedua berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Pada bagian pertama, Al-Qur’an merujuk pada pengertian-pengertian normatif, doktrin serta aturan-aturan legal yang mengacu pada nilai-nilai Islam yang menjadi konsep-konsep yang otentik. Sebaliknya, pada bagian yang kedua, Al-Qur’an ingin mengajak dilakukanny aperenungan untuk memperoleh hikmah melalui kontemplasi terhadap kejadian atau peristiwa-peristiwa historis dan juga melalui kiasan-kiasan yang berisi hikmah tersembunyi.
Melalui pendekatan sejarah, kita akan memasuki keadaaan sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya.
5. Pendekatan Semantik
Semantik adalah ilmu yang mempelajari atau mengembangan penalaran melalui tanda-tanda yang ada dalam menfsirkan berbagai macam teks secara bebas dan luas. Maksud pendekatan semantik adalah kajian yang menekankan pada aspek bahasa, yang mencangkup struktur/gramatikal, tunjukannya/dalalah, dan dari segi maknawi. Pendekatan ini demikian populer dalam kajian tafsir dan fiqih, dengan penggunaan kaidah mutlaq-muqayyad, manthuq-mafhum, mujmal-mubayyan, muradif-musytarak dll.
Untuk lebih memahami mengenai pendekatan semantik, kita dapat melihat pemikiran Muhammad Arkoun. Tema-tema pemikirannya banyak yang terkait dengan permasalahan bahasa: misalnya korelasi antara bahasa, pemikiran, sejarah dan kekuasaan; persaingan antara berbagai macam bahasa dan cara berpikir; pertentangan antara bahasa lisan dan bahasa tulis. Arkoun tampaknya juga ingin mengaitkan persoalan bahasa dengan persoalan agama dan masyarakat secara luas, sehingga secara analisis sering melampaui persoalan teoritis-semiotis. Bahkan analisis semiotisnya telah mencapai kesadaran semiotis yang mempunyai perspektif “membebaskan” dalam membaca dan memahami teks/literatur, supaya umat Islam bias keluar dari beban-beban ideologis, politis, citra atau angan-angan negative, yang tanpa disadari telah lama membelenggu.
6. Pendekatan Hermeneutika
Istilah hermeneutka berasal dari kata kerja Yunani, hermeneuin yang berhubungan dengan kata hermenes dan terkait dengan dewa dalam mitologi Yunani kuno bernama “Hermes”. Hermes merupakan utusan dewa untuk membawa pesan Ilahi yang memaki bahasa langit kepada manusia yang menggunakan bahasa dunia.
Menurut istilah, Hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam siatuasi sekarang. Objek kajian utamanya adalah pemahaman makna pesan yang terkandung dalam teks dengan variebelnya. Dengan demikian, pendekatan ini bertugas mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja suatu teks untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan makna itu muncul.
Ada tiga unsur utama dalam hermeneutik: penggagas, teks dan pembaca. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur tersebut menjadi titik beda masing-masing hermeneutik. Titik beda itu dapat dikelompokan menjadi tiga kategori hermeneutik:
a. Hermeneutik Teoritis. Yaitu bentuk hermeneutik yang menitikberatkan pada pemahaman kebenaran yang dikehendaki oleh penggagas teks. Agar pembaca memahami makna yang dikehendaki penggagas dalam teks, hermeneutik teoritis mengasumsikan seorang pembaca harus menyamakan posisi dan pengalaman dengan penggagas melalui mengosongkan diri dari sejarah hidup yang membentuk dirinya, kemudian memasuki sejarah hidup dan menyelami pengalaman penggagas dengan cara berempati kepada penggagas. Untuk mencapai pada makna objektif, terdapat empat hal yang harus diperhatikan: (1) penafsir melakukan investigasi fenomena linguistic teks, (2) penafsir harus mengosongkan dirinya dari segala bentuk kepentingan, (3) penafsir menempatkan dirinya dalam posisi seorang penggagas melalui imajinasi dan wawasan, (4) melakukan rekonstruksi untuk memasukan situasi da kondisi untuk memperoleh hasil yang ingin dicapai dari ungkapan teks.
b. Hermeneutik Filosofis. Hermeneutik ini mengacu pada “watak” interpretasi dan “tindakan” memahami. Memahami adalah sebuah fusi horizon-horizon: horizon penafsir (tradisi dan sejarah penafsir yang kemudian membentuk pra-pemahaman) dan horizon teks (sejarah teks). Mamahami adalah tindakan sirkuler antara teks dan pembaca yang disebut fusion of horizon, yakni mempertemukan/menegosiasikan pra-pemahaman pembaca dengan cakrawala atau horizon teks. Hermeneutik filosofis bertolak pada empat kunci: (1) kesadaran pada situasi yang membatasi (situasi hermeneutik) kemampuan melihat seseorang dalam membaca teks, (2) situasi hermeneutik membentuk pra-pemahaman yang mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks, (3) menggabungkan antara dua horizon, (4) menerapkan makna yang berarti dari teks, yang mempunyai nilai bagi kehidupan pembaca, bukan penggagas.
c. Hermeneutik Kritis. Bertujuan untuk mengungkap kepentingan atau mengkritisi sesuatu yang berada di luar teks, yakni dimensi ideologis penafsir dan teks sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karena itu, teks harus ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai.
7. Pendekatan Filosofis
Filsafat secara etimologi berasal dari bahasa Yunani philos yang berarti suka/cinta dan sophia yang berarti kebijaksanaan. Filsafat dalam arti formal berarti suatu proses kitik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi secara bebas, bertanggungjawab, radikal, universal, konseptual, komprehensif, koheren dan konsisten serta sistematis. Louis O. Kattsof mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung, tetapi merenung bukanlah melamun, juga bukan berpikir secara kebetulan yang bersifat untung-untungan, melainkan dilakukan secara mendalam, radikal, sistematik dan universal.
Pendekatan filosofis menentang hal-hal yang biasa kita terima taken for ganted, karena filsafat memaksa kita memikirkan keyakinan-keyakinan yang mungkin tidak pernah kita pertanyakan. Pendekatan filosofis terhadap agama adalah suatu proses rasional yang mencangkup dua hal: (1) kita menunjukkan fakta bahwa akal memainkan peranan fundamental dalam refleksi pengalaman dan keyakinan keagamaan dalam suatu tradisi keagamaan, (2) kita menunjukkan fakta bahwa dalam menguraikan keimanan, tradisi keagamaan harus dapat menggunakan akal dalam memproduksi argument-argumen logis ketika membuat klaim-klaim yang dapat dibenarkan.
Pada intinya, filsafat berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah dari sesuatu yang berada di balik objek formalnya. Berpikir filosofis dapat digunakan dalam memahami ajaran agama dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Melalui pendekatan filosofis, seseorang tidak akan terjebak dalam pengamalan agama yang bersifat formalistik yang kosong makna. Secara metodologis, pendekatan ini memberikan harapan segar terhadap dialog keagamaan serta diskusi yang lebih mendalam secara terbuka, jujur dan adil, sehingga terbukalah kebenaran yang dapat diterima semua golongan.
8. Pendekatan Interkonektif
Maksud pendekatan interkonektif adalah kajian dengan menggunakan sejumlah pendekatan atau perspektif yang saling dihubungkan antara satu sama lain untuk mencapai titik temu atau hasil kebenaran yang lebih valid. Hampir setiap pendekatan memiliki keterbatasan, dan tidak jarang antara pendekatan satu dengan yang lain saling melengkapi. Maka dari itu, menggunakan pendekatan secara integral menjadi penting guna mencapai hasil yang lebih valid, meskipun belum mencapai kebenaran absolute akan tetapi telah mencapai kebenaran yang komprehensif.
Mempelajari Islam dalam konteks kehidupan modern bagaikan melihat sebuah benda dalam ruangan gelap. Keempat sisi ruangan itu terdapat sebuah pintu. Masing-masing pintu memiliki lubang kunci. Penglihatan seseorang tentang Islam sesungguhnya merupakan hasil intipan dari salah satu lubang kunci. Bisa dipastikan, hasil penglihatan satu orang akan berbeda dengan yang lain, tergantung dari lubang kunci sebelah mana dia melihatnya. Islam tetap absolute, akan tetapi perspektif kita terhadap Islam lah yang relative. Maka dari itu, agar pemahaman tentang Islam lebih dekat pada Islam absolute, maka yang perlu dilakukan adalah mensinergikan antar pengkaji, yakni mendekati Islam dengan pendekatan interkonektif.
Penggunaan pendekatan yang integral memang seharusnya terjadi, kalau tidak menjadi petanda bahwa agama semakin tidak mendapat perhatian. Pendekatan ini dimaksudkan agar Islam mampu dipahami secara lebih komprehensif sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan yang semakin komplek dan lengkap.
C. Urgensi dan Manfaat Studi Islam
MSI merupakan respon atas gejala studi Islam kontemporer yang menjadikan Islam selain sebagai agama juga sebagai disiplin ilmu yang mandiri. Sebagai sebuah disiplin ilmu, Islam tentu tidak lagi terbatas pada kajian doktriner tapi juga merambah pada bidang-bidang nondoktriner.
Disamping itu, MSI merupakan solusi agar Islam tidak mudah disalahpahami oleh outsider. MSI bisa mengantarkan para penggunanya, baik muslim atau non-muslim, untuk mencapai common ground tentang gambaran Islam yang sesungguhnya. Karena MSI selalu terbuka (open-minded) bagi setiap pengkaji Islam dan mengutamakan dialog sehingga membantu tercapainya pemahaman intelektual (intelectual understanding) antar semua pengkaji. MSI juga mengandung metodologi yang cair (fluid methodology) yang dapat menggambarkan kompleksitas Islam.
Studi Islam memiliki dua fungsi. Yang pertama adalah fungsi akademik (keintelektualan), yakni umat Islam akan mampu memahami ajaran Islam secara komprehensif dan universal dan akan mempermudah dalam memahami berbagai dimensi ajaran Islam, serta memiliki wawasan yang utuh dan integral tentang Islam. Adapun fungsi yang kedua adalah fungsi pragmatik (problem solving), yakni mengembangkannya untuk mengetahui akar masalah dalam suatu permasalahan agama, responsif terhadap permasalahan-permasalahan aktual dengan memberikan solusi yang praktis-aplikatif.

KESIMPULAN

Studi Islam adalah penelitian secara komprehensif terhadap relevansi pemahaman doktrin Islam yang bersifat teoritis dalam syari’at (normative / law in book) dengan realita social keagamaan Islam yang praktis-aplikatif dalam masyarakat (histories / law in action).
Dalam studi Islam terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan, antara lain: pendekatan teologis normatif, sosiologis, antropologis, historis, semantik, hermeneutik dan filosofis. Masih banyak lagi pendekatan yang dapat digunakan dalam studi Islam, akan tetapi saya rasa penyebutan pendekatan-pendekatan di atas sudah cukup representatif untuk sekedar mengenal MSI. Pada pendekatan terakhir saya menambahkan pendekatan interkonektif, sebagai pendekatan alternatif terhadap beberapa pendekatan yang masing-masing mempunyai kekurangan.
Ada banyak manfaat yang dapat kita petik dari mempelajari studi Islam. Biasanya dapat dikategorikan dalam dua fungsi. Yang pertama adalah fungsi akademik (keintelektualan), yakni umat Islam akan mampu memahami ajaran Islam secara komprehensif dan universal dan akan mempermudah dalam memahami berbagai dimensi ajaran Islam, serta memiliki wawasan yang utuh dan integral tentang Islam. Adapun fungsi yang kedua adalah fungsi pragmatik (problem solving), yakni mengembangkannya untuk mengetahui akar masalah dalam suatu permasalahan agama, responsif terhadap permasalahan-permasalahan aktual dengan memberikan solusi yang praktis-aplikatif.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Baedhowi. Humanisme Islam: Kajian terhadap Pemikiran Filosofis Muhammad Arkoun. Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Connolly, Peter. Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri. Yogyakarta: LKiS, 2002.
Fanani, Muhyar. Metode Study Islam: Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara Pandang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Hakim, Atang Abd. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Kattsof, Louis O. Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.
Mustansyir, Rizal. Filsafat Ilmu. Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Nasution, Khoirudin. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2007.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Isam. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Wijaya, Aksin. Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya. Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.


Kamis, 05 Juli 2012

PANDANGAN MUHAMMAD SYAHRUR TENTANG RIBA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

RESUME SKRIPSI
PANDANGAN MUHAMMAD SYAHRUR TENTANG RIBA
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(Skripsi Anjar Kususiyanah)


oleh:
Mushlih Candrakusuma



A. Deskripsi Masalah
Dalam bingkai ajaran Islam bermuamalah memiliki kaidah dan prinsip-prinsip syari’at. Allah telah menganjurkan kepada hamba-hambanya untuk beribadah dengan segala upaya di muka bumi dan segala jalan untuk mendapatkan rizki. Allah memelihara usaha orang Islam dari segala kehinaan dan kebinasaan karena orang Islam sejati hanya akan terjun ke dunia perekonomian selalu mengedepankan nilai kehalalan.
Walaupun dengan demikian kita takkan pernah lepas dari persoalan-persoalan yang diantaranya terkait dengan riba dan batasan-batasannya karena pada dasarnya, sejak semula riba sudah diakui sangat potensial menimbulkan masalah karena ketidakjelasan makna yang dikehendaki, bahkan dikalangan sahabat Nabi Saw sekalipun.
Demikian peliknya masalah riba, sehingga pembahasan mengenai hal tersebut semakin marak. Pada zaman modern pun, tak ketinggalan ulama Islam kontemporer Muhammad Syahrur seorang insinyur yang berkebangsaan Syiria datang di tengah-tengah kita menawarkan konsep baru mengenai riba yang ditulis dalam bukunya al-Kitab wa al-Qur’an Qiraah Muatsirah.
Melalui karyanya yang sangat kontroversial Muhammad Shahrur tersebut, al-Kitâb wal Qur’ân: Qirâ’ah Mu`âshirah, teori limit Shahrur telah mengatasi kebuntuan epistemologi yang menimpa karya-karya pemikir sebelumnya., Shahrur menegaskan bahwa teori limit merupakan salah satu pendekatan dalam berijtihad, yang digunakan dalam mengkaji ayat-ayat muhkamât dalam al-Qur’an. Terma limit (hudûd) yang digunakan Shahrur mengacu pada pengertian “batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar, tapi di dalamnya terdapat wilayah ijtihad yang bersifat dinamis, fleksibel, dan elastis.
Menurut Shahrur, teori batas dapat digambarkan sebagai berikut: Perintah Tuhan yang diungkapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah mengatur ketentuan-ketentuan yang merupakan batas terendah (al-had al-adna) dan batas tertinggi (al-had al-a’la) bagi seluruh perbuatan manusia. Secara lebih rinci Shahrur menjelaskan dengan membedakan enam bentuk batasan sebagai berikut;
Pertama, batasan minimum (had adna) ketika ia berdiri sendiri. Contoh batasan ini adalah larangan al-Qur’an untuk mengawini para perempuan yang disebut dalam (Q.S. al-Nisa’: 23).
Menikah dengan anggota keluarga yang termasuk kategori hubungan-hubungan darah ini dilarang, yang diperbolehkan adalah menikah dengan kerabat lain diluar anggota ikatan darah.
Kedua, batasan maksimum (had a’la) yang berdiri sendiri. Contoh batasan ini dapat ditemukan dalam (Q.S. al-Ma’idah: 38), “Pencuri, baik laki-laki maupun perempuan, maka potonglah tangan-tangan mereka.” Di sini, hukuman yang ditentukan mewakili batasan maksimum yang tidak boleh dilampaui. Dalam kasus ini, hukuman bisa dikurangi, berdasarkan kondisi-kondisi obyektif yang berlaku dakam suatu masyarakat tertentu. Adalah tanggungjawab para mujtahid untuk menentukan pencuri yang bertipe apa yang perlu dipotong tangannya, dan tipe apa yang tidak.
Ketiga, batasan minimum dan maksimum ketika keduanya berhubungan. Gambaran dari tipe ini disebutkan dalam ayat al-Qur’an. (Q.S. al-Nisa’[4]: 11) yang berhubungan dengan warisan. Tujuan dari ayat ini menyatakan bahwa “bagian laki-laki sebanding dengan bagian dua perempuan, dan jika terdapat lebih dari dua anak perempuan, maka bagian mereka adalah 2/3 dari harta warisan. Dan jika hanya terdapat satu anak perempuan maka bagian mereka adalah setengah”.
Keempat, perpaduan antara batasan-batasan maksimum dan minimum. Yang menarik di sini adalah bahwa dari seluruh kandungan al-Qur’an dan Sunnah hanya ada satu ayat dalam tipe ini, yakni Q.S. al-Nur [24]:2.
Di sini, batasan maksimum maupun minimum berpadu dalam satu bentuk hukuman, yakni berupa seratus deraan. Tuhan menekankan bahwa pezina seharusnya tidak dikasihani dengan mengurangi hukuman-hukuman yang seharusnya ditimpakan. Hukuman bagi pezina adalah tidak boleh kurang atau lebih dari seratus kali deraan.
Kelima, posisi batas maksimum dengan satu titik mendekati garis lurus tanpa persentuhan. Hubungan seksual antara laki-laki dan permpuan merupakan contoh dalam tipe ini. Dimulai dari titik diatas batas minimum di mana keduanya sama sekali tidak bersentuhan, garis lengkung hanifiyah bergerak ke atas searah dengan batas maksimum dimana mereka hampir melakukan perzinahan, tetapi tidak sampai terjadi.
Keenam, batas maksimum “positif” tidak boleh dilewati dan batas bawah “negatif ” boleh dilewati. Kasus hukum yang menggambarkan tipe ini adalah transaksi keuangan. Batas tertinggi digambarkan sebagai pajak bunga dan batas terendah sebagai pembayaran zakat. Ketika batasan-batasan ini berada dalam posisi positif dan negatif, maka ada sebuah tingkatan yang berada tepat di antaranya yang nilainya sama dengan nol.
Seperti paparan diatas pandangan Muhammad Syahrur tentang riba tidak dapat dipisahkan dengan teori batas (Nadzariyyah al-Hudud) yang berkenaan dengan hukum islam secara umum. Teori yang berkenaan dengan riba ini terdapat pada teori batas keenam yang dirumuskan Muhammad Syahrur dengan istilah Batas Maksimum “Positif” Tidak Boleh Dilewati Dan Batas Bawah “Negatif” Boleh Dilewati. Batasan ini berlaku pada hubungan peralihan harta kekayaan antar manusia. Dua batas ini terdiri dari batas maksimal yang tidak boleh dilanggar, yaitu riba dan batas minimal ini berupa zakat yang dapat dilampaui. Bentuk melampaui batas minimal ini berupa berbagai macam sedekah. Dua batas ini terdapat pada dua daerah yaitu daerah positif dan daerah negatif, dan titik tengah pada posisi netral yang dilambangkan dengan nol. Pada dataran aplikasi, batas maksimal positif berupa riba, batas netral berupa pinjaman tanpa bunga dan pada batas minimal negatif berupa zakat dan sedekah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep riba Muhammad Syahrur perspektif hukum islam?
2. Bagaimana dasar pemikiran konsep riba Muhammad Syahrur perspektif hukum islam?
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui konsep riba Muhammad Syahrur perspektif hukum islam.
2. Untuk mengetahui dasar pemikiran konsep riba Muhammad Syahrur perspektif hukum islam.
Kegunaan Penelitian
1. Secara Akademis, kajian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan kajian hukum Islam, khususnya bagi jurusan Syari’ah Muamalah serta menjadi referensi dan juga refleksi kajian berikutnya yang berkaitan dengan pemikiran Muhammad Syahrur tentang teori batasnya. Selain itu, diharapkan hasil dari kajian ini dapat menarik perhatian peneliti lain, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim, untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang masalah yang serupa.
2. Secara Praktik, dapat membaca dan mengetahui tujuan pemikiran ulama islam kontemporer, yang dalam hal ini adalah Muhammad Syahrur, dengan konsep pembaharuannya dalam menyelesaikan masalah hukum islam, sehingga keterpasungan dan kejumudan cakrawala wacana umat islam semakin terbuka dalam interpretasi kalam tuhan.
C. Telaah Pustaka
Beberapa kajian yang pernah dilakukan terhadap pemikiran Muhammad Syahrur, banyak dituangkan dalam tulisan, buku, jurnal dan juga artikel-artikel, di antaranya:
“Libas Shahrur” yang mencoba untuk menunjukkan kemampuan teori batas. Penelitian ini dikaji okeh Udin Safala., M.H.I., dkk. yang di tulis pada jurnal STAIN Ponorogo. Tela’ah yang dilakukan oleh M. In’am Esha, yang berjudul “M. Shahrur: Teori Batas” dalam buku “Pemikiran Islam Kontemporer”. “Teori batas Muhammad Syahrur dalam perspektif epistimologi”, skripsi karya Alayx Mubarok yang isinya mengenai landasan epistimologi Muhammad Syahrur. “Teori batas Muhammad Syahrur” oleh Rahmawati, yaitu makalah yang berisi tentang siapa Muhammad Syahrur dan pemikiran teori batasnya.
D. Metode yang digunakan
1. Pendekatan dan Jenis penelitian
Skripsi ini merupakan studi literer, dan menggunakan metode diskriptif analitis, dengan menggunakan pendekatan analisa wacana.
2. Sumber data
a. Sumber Data Primer
Penelitian ini menggunakan sumber data primer yang terdiri dari beberapa karya dari Muhammed Syahrur diantaranya: Prinsip dan Dasar Hermeneutika hukum Islam Kontemporer, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer.
b. Sumber Data Sekunder
Penelitian ini menggunakan pula buku-buku pendukung sekunder, untuk membantu menelaah data-data yang dihimpun dan sebagai komparasi dari sumber data primer, antara lain: buku-buku mengenai riba dalam hukum Islam, Jurnal Ilmiah, beberapa artikel ilmiah, ensiklopedi tokoh, dan karya-karya yang mempunyai keterkaitan dengan objek penelitian.
3. Data penelitian
Dalam penelitian ini, ada tiga data yang hendak dikaji, yaitu: (1) gambaran umum tentang Teori Batas Muhammad Syahrur terkhusus pada poin riba, (2) sketsa biografi yang meliputi: latar belakang kultur, pendidikan, sosial budaya berikut karya-karyanya dan posisi Muhammad Syahrur yang merupakan salah satu Mujtahid, (3) Dasar pemikiran Muhammad Syahrur.
4. Teknik analisa data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan analisis kualitatif berupa content analysis (analisis isi teks) atau deskripsi analisis yaitu mengumpulkan dan menyusun data-data kemudian menganalisisnya dengan menggunakan pola pikir. Yang bisa kita jelaskan sebagai berikut:
a. Reduksi Data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data ”kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.
b. Penyajian Data
Alur penting kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian data. Suatu penyajian sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
c. Menarik Kesimpulan/Verifikasi
Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Penarikan kesimpulan sebenarnya sudah mulai dilakukan semenjak pengumpulan, reduksi dan penyajian data, akan tetapi masih dalam bentuk terbuka, longgar dan skeptis, mula-mula belum jelas, namun kemudian menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh, sehingga mencapai kesimpulan yang final.
E. Teori / konsep yang digunakan (Bab II)
Pengertian
Riba menurut bahasa berarti tambah, berkembang, meningkat, dan membesar. Riba mengandung 3 unsur: kelebihan dari pokok pinjaman, kelebihan pembayaran sebagai imbalan tempo pembayaran, jumlah tambahan yang disyaratkan di dalam transaksi. Secara umum riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam islam.
Dasar Hukum
Para ulama fiqh mulai membicarakan tentang riba, ketika mereka memecahkan berbagai macam persoalan muamalah. Menurut Syeh Muhammad Musthofa al-Maroghi proses keharaman riba itu bertahab, di dalam tahap menjelaskan hukum tentang riba juga mengikuti tahap dalam menjelaskan hukum khomer. Diantaranya ada yang memfokuskan bahaya dan akibat khomer. Begitu pula tentang riba, larangan datang secara bertahap.
Tahap pertama, Allah menunjukkan bahwa riba itu bersifat negatif pernyataan ini ditunjjukkan dalam surat ar-Rumm ayat 39. Ayat ini merupakan ayat yang pertama yang membicarakan tentang riba yang menurut para mufassir ayat ini termasuk ayat makiyyah dan ayat ini tidak membicarakan tentang keharaman riba akan tetapi hanya menjelaskan tentang asumsi manusia yang menganggap harta riba akan menambah hartanya, padahal asumsi tersebut tidak benar (menurut Allah). Riba dalam ayat ini berupa pemberian sesuatu pada orang lain yang tidak didasarkan dengan keikhlasan.
Tahap kedua, adalah isyarat keharaman riba melalui kecaman praktik riba ditunjukkan pada surat an-Nisa’ ayat 160-161. Ayat tersebut termasuk ayat madaniyyah. Pada ayat ini, Allah memberikan cerita orang-orang yahudi yang telah mengambil riba dari orang lain dan memakannya dengan keyakinan, bahwa riba dihalalkan bagi mereka, padahal Allah telah mengharamkannya. Ayat ini pun belum secara tegas memberikan larangan riba kepada orang Islam, melainkan masih bersifat pemberitaan gambaran orang-orang Yahudi.
Tahap ketiga, mengharamkan satu bentuk riba yang berlipat ganda dengan tegas temuat dalam surat al-imron ayat 130. Dari ayat ini terlihat dengan jelas tentang pengharaman riba, namun masih bersifat parsial, belum secara menyeluruh. Sebab pengharaman riba yang berlipat ganda (adh’afan mudha’afah) dan sangat memberatkan bagi si peminjam, disejajarkan dengan larangan shalat bagi orang yang sedang mabuk.
Tahap keempat, mengharamkan secara total dalam segala bentuk terdapat dalam surat Al-Baqoroh ayat 275, 276, 277, 278, 279. Dalam ayat 275 Allah menyatakan bahwa jual beli sangat beda dengan riba, ayat 276 Allah memusnahkan riba, ayat 278 Allah memerintahkan untuk meninggalkan segala bentuk riba yang masih ada.
Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada al-Quran, melainkan juga dalam al-hadits. Adapun hadits yang mengharamkan riba antara lain Hadits riwayat Jabir Ra. Dalam kitab Shohih Muslim:
لعن رسول الله صل الله عليه وسلم اكل الربا ومؤكله وكاتبه وساهديه وقال هم سواء
Rasulullah SAW. melaknat pemakan riba (yang mengambil riba) yang memakan riba, yang menjadi pencatat dan dua orang yang menjadi saksi dan dan beliau bersabda mereka semua sama.
Macam-Macam Riba
Dalam pembagian macam-macam riba ulama’ berbeda pendapat. Secara garis besar, riba terbagi menjadi dua bagian:
1. Riba hutang piutang, adapun yang termasuk dalam riba hutang piutang adalah:
- Riba qard yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang.
- Riba jahiliyah adalah hutang di bayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang di tetapkan.
2. Riba jual beli, adapun yang termasuk di dalamnya adalah:
- Riba fadl yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedang barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
- Riba nasi’ah adalah penangguhan pembayaran atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya, riba nasiaah ini muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat itu dan yang diserahkan kemudian.
F. Gambaran singkat data penelitian (Bab III)
Biografi dan Kehidupan Sosial Muhammad Syahrur
Muhammad Syahrur lahir di Damaskus, Syria, pada 11 April 1938. Syria (tempat di mana Syahrur dilahirkan) adalah sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Syria tercatat sebagai negara yang memiliki pengaruh luar biasa dalam pemikiran di dunia Islam, baik sosial, politik, budaya, dan intelektual. Penduduk Syria secara umum sangat toleran dan jauh lebih terlatih untuk hidup berdampingan dengan agama lain jika dibandingkan dengan negara muslim lainnya. Di Suriah jumlah umat Islam mencapai 80% sedangkan 20% terdiri dari Kristen, Yahudi dan aliran-aliran keagamaan lainnya seperti Syi‘ah. Adapun mazhab yang berkembang luas adalah mazhab Hanafi sekalipun mazhab lain juga tetap dipergunakan.
Syria juga pernah menghadapi problema modernitas, khususnya benturan keagamaan dengan gerakan modernisasi Barat. Problema ini muncul karena di samping Syria pernah diinvasi oleh Perancis, juga dampak dari gerakan modernisasi Turki, di mana Syria pernah menjadi wilayah dari dinasti Usmaniyyah (di Turki).
Dari situlah kemudian akan terlihat bahwa iklim berintelektual di Syria, setingkat lebih “maju” ketimbang negara-negara Muslim Arab lainnya yang masih memberlakukan hukum Islam positif secara kaku, terutama dalam hal kebebasan berekspresi. Angin segar bagi tumbuhnya suatu imperium pemikiran di negara Syria, lebih nyata dan menjanjikan ketimbang di negara-negara Arab lainnya. Sehingga lantaran itu pulalah mengapa orang-orang liberal seperti Syahrur dapat dengan leluasa bernafas di Syria setelah menelorkan ide-ide kreatifnya yang bagi banyak negara Muslim menolaknya
Sejak muda, Syahrur terkenal dengan anak yang cerdas. Sekolah dasar dan menengahnya ditempuh di kota kelahirannya pada lembaga pendidikan `Abd al-Rahman al-Kawakibi, hingga tamat pada 1957. Pada 1957 itu juga ia memperoleh beasiswa pemerintah untuk studi ilmu teknik di Moskow, dan berhasil menyelesaikannya pada 1964. Tahun berikutnya, ia bekerja sebagai dosen pada fakultas teknik Universitas Damaskus. Kemudian oleh pihak universitas, ia dikirim ke Irlandia untuk studi `pascasarjana` dalam spesialisasi mekanika tanah dan teknik fondasi pada Ireland National University. Gelar Master of Science diperoleh pada 1969, dan gelar Doktor pada 1972. Syahrur, hingga sekarang, masih tetap tercatat sebagai tenaga edukatif pada fakultas teknik sipil Universitas Damaskus tersebut dalam bidang mekanika tanah dan geologi.
Syahrur yang berlatar belakang teknik, ternyata meminati juga secara mendalam masalah-masalah keIslaman. Hal ini sebagaimana diwujudkannya dalam al-Kitab wa al-Qur`an. Buku inilah sebenarnya yang telah membuat namanya melejit dalam kancah dunia pemikiran. Renungan dalam buku ini ternyata tidak tanggung-tanggung, sebab ditulisnya waktu yang cukup lama, 20 tahun. Secara garis besar, karya-karya Syahrur dalam bidang keIslaman (semuanya diterbitkan oleh Al-Ahali li al-Tiba`ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi`, Damaskus): Al-Kitab wa al-Qur`an: Qira`ah Mu`ashirah (1990) [19], Dirasah Islamiyyah Mu`ashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama` (1994), Al- Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam (1996), dan Masyru` Mitsaq al-`Amal al- Islami (1999).
Konsep Riba Muhammad Syahrur
Pandangan Muhammad Syahrur tentang riba tidak dapat dipisahkan dengan teori batas (Nadzariyyah al-Hudud) yang berkenaan dengan hukum islam secara umum. Teori batas riba Muhammad Syahrur termuat pada posisi teori batas yang keenam yaitu “batas maksimal (positif) tidak boleh di lewati dan batas bawah (negatif) boleh di lewati”. Batasan ini berlaku pada hubungan peralihan harta kekayaan antar manusia. Dua batas ini terdiri dari batas maksimal yang tidak boleh dilanggar, yaitu riba dan batas minimal ini berupa zakat yang dapat dilampaui. Bentuk melampaui batas minimal ini berupa berbagai macam sedekah. Dua batas ini terdapat pada dua daerah yaitu daerah positif dan daerah negatif, dan titik tengah pada posisi netral yang dilambangkan dengan nol. Pada dataran aplikasi, batas maksimal positif berupa riba, batas netral berupa pinjaman tanpa bunga dan pada batas minimal negatif berupa zakat dan sedekah.
Dari ayat-ayat Allah yang berkaitan antara riba, zakat dan sedekah Muhammad Syahrur mengelompokkan kondisi seseorang dari bentuk pengalihan harta:
1. Kelompok yang tidak memiliki kemampuan melakukan transaksi bentuk apapun, mereka berhak menerima harta dalam bentuk pemberian, bukan pinjaman. Yang termasuk dalam kategori ini adalah golongan yang wajib menerima zakat yaitu orang yang tidak mampu melakukan transaksi ekonomi apapun, atau tidak mampu melunasi bentuk pinjaman harta selunak apapun dalam sistem perekonomian (fakir). Untuk kelompok ini berlaku ayat Allah “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah”. Allah juga mengaitkan antara riba dan zakat dalam firman Allah “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan “sampai ayat” dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah”.
2. Kelompok orang-orang yang mampu mengembalikan pinjaman tapi tanpa bunga sama sekali. Bentuk ini berupa pinjaman yang bernilai netral atau disebut dengan pinajamn qardul hasan yaitu pinjamn tanpa bunga. Kondisi ini dijelaskan dalam surat al-Baqoroh: 279, model pengalihan harta ini merupakan batas maksimal yang boleh diterapkan pada kelompok kedua ini. Oleh karenanya, Allah menganjurkanpemberian bukan pinjaman, yaitu dengan firmannya dalam surat al-Baqoroh: 280.
3. Kelompok manusia yang tidak berhak menerima pemberlakuan ayat-ayat sedekah, dan zakat. Mereka adalah kelompok manusia yang memperoleh penghasilan besar dari mata pencahariannya, seperti konglomerat di sektor perniagaan, industri, agrobisnis termasuk kategori ini adalah; mereka yang menduduki posisi penting dalam jasa transportasi, komunikasi, perusahaan pertambangan, dan bentuk-bentuk usaha yang lainnya. Dan untuk kelompok ini berlaku posisi batas maksimal pengambilan keuntungan bunga sebagaimana firman Allah surat Ali Imron: 130.
Dasar Pemikiran Muhammad Syahrur
Syahrur, dalam menelorkan ide-idenya, khususnya terkait dengan masalah keIslaman, tidak lepas dari teori Batas. Ide-idenya muncul setelah secara sadar mengamati perkembangan dalam tradisi ilmu-ilmu keIslaman kontemporer. Menurutnya, pemikiran Islam kontemporer memiliki problema-problema berikut:
1. Tidak adanya metode penelitian ilmiah yang obyektif.
2. Kajian-kajian keIslaman yang ada seringkali bertolak dari perspektif-perspektif lama yang dianggap sudah mapan, yang terperangkap dalam kungkungan subyektifitas,
3. Tidak dimanfaatkannya filsafat humaniora.
4. Tidak adanya epistemologi Islam yang valid.
5. Produk-produk fiqh yang ada sekarang sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan modernitas.
Syahrur juga mengatakan, kajian-kajian keIslaman yang ada sering melupakan dimensi universalitasnya (salih li kull zaman wa makan). Karena itulah Syahrur sangat bersikeras bahwa tiap-tiap generasi mampu memberikan interpretasi al-Qur`an yang memancar dari realitas yang muncul dan sesuai dengan kondisi di mana mereka hidup. Hasil interpretasi al-Qur`an generasi awal tidaklah mengikat masyarakat Muslim modern.
Syahrur mengatakan: sesungguhnya sumber pengetahuan manusia adalah alam materi yang berada di luar eksistensi manusia itu sendiri. Dalam pandangan Syahrur adalah kebenaran yang sesuai dengan realitas empirik yang berada di luar eksistensi manusia, Maka pengetahuan manusia tidaklah independen sebagaimana yang ada dalam persepsi pikiran yang tidak sesuai dengan realitas. Dengan landasan ini pula, maka kajian filsafat Islam kontemporer harus didasarkan pada pengetahuan rasional ilmiah sebagai hasil dari cerapan inderawi manusia dalam rangka memperoleh pengetahuan teoritis murni (al-ma`rifah al-nadzriyyah al-mujarradah).
Sketsa pengetahuan di atas menunjukkan bahwa Syahrur sebagai seorang saintis, tipikal keilmuannya yang mengedepankan sifat-sifat empirik, rasional, dan ilmiah sangat kental mewarnai landasan metodologisnya. Hal ini pulalah yang kemudian menjadi pijakan teoretiknya dalam mengkaji teks suci al-Qur`an. Al-Quran senantiasa mengandung karakter pembacaan kontemporer” [sifat al-Qira’ah al-Mu’asirah] (selalu ditafsirkan sesuai dengan perkembangan modern).
Shahrur menemukan asumsi dasarnya yaitu bahwa dalam bahasa Arab tidak ditemukan adanya sinonim (muradif). Dari situlah kemudian Syahrur membuat pembatasan kaedah dasar-dasar metodologi linguistiknya, yaitu:
1. Dalam bahasa tidak ada sinonim,
2. Kata adalah ekspresi dari makna
3. Yang paling penting dari bahasa adalah makna.
4. Bahasa apa pun tidak akan dapat dipahami bila tidak ditemukan adanya kesesuaian bahasa itu dengan rasio dan realitas obyektif.
Syahrur menggunakan pendekatan semantik dengan analisa paradigmatis dan sintagmatis. Semantik adalah ilmu yang berhubungan dengan fenomena. Adapun analisa paradigmatis yang dimaksud ialah suatu analisa pencarian dan pemahaman terhadap sebuah konsep (makna) suatu simbol (kata) dengan cara mengaitkannya dengan konsep-konsep dari simbol-simbol lain yang mendekati dan yang berlawanan. Sedangkan analisa sintagmatis adalah analisa yang bertujuan untuk menentukan mana makna yang paling tepat di antara makna-makna yang ada, di mana setiap kata pasti dipengaruhi oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya.
G. Analisa Data (Bab IV)
Konsep Riba Muhammad Syahrur
Pemaparan bab ke tiga penulis menyimpulkan bahwa Muhammad Syahrur membagi riba dalam dua bentuk yakni yang berkaitan dengan pinjam meminjam dan jual beli. Menurut hemat penulis, Muhammad Syahrur memandang riba sama dengan bunga bank dan beliau ini menghalalkan bunga bank seperti yang di tuangkan dalam mekanisme perbankan modern yakni:
1. Mekanisme pinjaman tidak boleh diterapkan pada kelompok yang berhak menerima zakat dan sedekah, adapun pengalihan harta kepada kelompok tersebut adalah berupa pemberian tanpa syarat apapun.
2. Dalam kondisi tertentu mekanisme maksimal yang boleh diterapkan kepada kelompok yang berhak menerima sedekah adalah pinjaman tanpa bunga (qardul hasan).
3. Dalam sistem perbankan islam tidak diperkenankan pembebanan bunga melebihi dua kali lipat (100%) dari modal pinjaman untuk jangka waktu yang tak terbatas. Bunga pinjaman 100% merupakan batas maksimal yang boleh diterapkan dalam sistem perbankan islam.
Dari alasan tersebut penulis menyimpulkan bahwa ketika fuqoro’, masakin dipungut riba atau bunga mereka akan merasa teraniaya. Karena mereka meminjam digunakan untuk konsumtif semata atau pemenuhan hidup yang ia butuhkan, jadi Syahrur menekankan bagi fuqoro’, masakin, atau yang berhak menerima zakat dan sedekah tidak boleh di pungut riba melainkan pinjaman dengan mengembalikan pokok pinjamannya saja, dan bahkan ketika benar-benar tidak mampu untuk mengembalikan pokok pinjamannya mereka berhak untuk menerima pemberian atau hibah dengan tanpa syarat. Untuk mekanisme ketiga penulis menyimpulkan pinjaman tersebut berupa pinjaman produktif. Karena pada pinjaman produktif tersebut tidak ada yang teraniaya akan tetapi menguntungkan kedua belah pihak karena pada dasarnya pihak yang meminjamkan/perbankan sebagai pemilik modal yang tidak menjalankan usaha dan peminjam merupakan orang yang mempunyai skill untuk menjalankan usaha dan tidak memiliki modal untuk tersebut.
Dari pemaparan di atas penulis dapat menyimpulkan bahawa konsep riba Muhammad Syahrur adalah; ketika pinjaman tersebut untuk kepentingan produktif, Syahrur memperbolehkan pemungutan tambahan/riba dengan batas maksimal pemungutan adalah 100% dari pokok pinjaman. Dan ketika pinjaman itu untuk konsumtif, Syahrur tidak memperbolehkan pemungutan tambahan/riba.
Dasar Pemikiran Muhammad Syahrur
Muhammad Syahrur menggali hukum dari al-qur’an dengan cara yang ia miliki yaitu dengan memakai teori batas (nadzariyah al-hudud). Teori tersebut bersandar pada pengetahuan rasional yang bermula dari tahapan pengetahuan objek konkrit melalui indera pendengaran dan penglihatan, kemudian berlanjut pada pengetahuan teoritis murni. Karena pada dasarnya syahrur merupakan ahli di bidang teknik, sehingga beliau beranggapan bahwa semesta bersifat material dan akal manusia mampu mengetahui rahasia-rahasianya tanpa batasan yang mengekang. Pengetahuan manusia memiliki karakter untuk berkembang secara terus-menerus sesuai dengan level peradaban yang dicapai ilmu pengetahuan pada setiap generasi.
Karena itulah Syahrur sangat bersikeras bahwa tiap-tiap generasi mampu memberikan interpretasi al-Qur`an yang memancar dari realitas yang muncul dan sesuai dengan kondisi di mana mereka hidup. Hasil interpretasi al-Qur`an generasi awal dirasa Muhammad Syahrur tidak dapat mengikat masyarakat Muslim modern. Bahkan lebih jauh, kesalahan utama fiqh Islam dan tafsir al-Qur`an sekarang ini bersumber dari kesalahan metodologi yang tidak memperhatikan karakteristik dan fleksibilitas pengertian teks-teks Kitab Suci, sehingga membebani punggung umat dan tidak sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta situasi dan kondisi abad ke-20.
Syahrur juga menganggap kebenaran itu adalah segala sesuatu yang sesuai dengan realitas empirik yang berada di luar eksistensi manusia, maka pengetahuan manusia tidaklah independen sebagaimana yang ada dalam persepsi pikiran yang tidak sesuai dengan realitas. Maka kajian filsafat Islam kontemporer harus didasarkan pada pengetahuan rasional ilmiah sebagai hasil dari cerapan inderawi manusia dalam rangka memperoleh pengetahuan teoritis murni (al-ma`rifah al-nadzriyyah al-mujarradah).
Sketsa pengetahuan di atas menunjukkan bahwa Syahrur sebagai seorang saintis, tipikal keilmuannya yang mengedepankan sifat-sifat empirik, rasional, dan ilmiah sangat kental mewarnai landasan metodologisnya. Hal ini pulalah yang kemudian menjadi pijakan teoretiknya dalam mengkaji teks suci al-Qur`an.
Metode dan pendekatan yang digunakan Syahrur dalam mengkaji al-Qur`an secara umum didasarkan atas teori-teori yang terdapat dalam filsafat bahasa (linguistik). Syahrur menemukan asumsi dasar bahwa dalam bahasa Arab tidak ditemukan adanya sinonim (muradif).
Dari situ penulis dapat simpulkan bahwa dasar pemikiran Syahrur dalam menggali hukum yang sudah ada dalam al-Qur’an berbeda dengan ulama’ pada umumnya. Ulama pada umumnya yang di gunakan dasar suatu hukum dengan menggunakan al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, maslakhah dan lain sebagainya sesuai urutan yang iya yakini tapi al-Qur’an dan sunahlah yang paling urgen. Tapi Syahrur hanya berpokok pada al-qur’an saja, memang benar Syahrur juga menggunakan sunnah tapi hanya sekedar pembanding saja, dan beliau benar-benar menolak adanya ijma’, qiyas dan lain sebagainya. Adapun cara yang beliau pakai adalah teori atau metode pemahaman linguistik, semantik dengan pendekatan analisa paradigmatis dan sintagmatis.
H. Hasil yang didapat (Bab V)
1. Muhammad Syahrur memperbolehkan riba pada jenis pinjaman produktif dengan batas maksimal 100% dari pokok pinjaman, dan tidak memperbolehkan riba pada jenis pinjaman konsumtif. Jadi pada dasarnya Muhammad Syahrur secara kasat mata memperbolehkan perilaku riba tidak seperti yang tertuang pada konsep riba dalam hukum islam.
2. Dasar pemikiran Muhammad Syahrur adalah al-qur’an, dengan metode pemahaman linguistik, semantik dengan pendekatan analisa paradigmatis dan sintagmatis. Dan Muhammad Syahrur menolak adanya ijma’, qiyas seperti ulama islam salafi.

Rabu, 04 Juli 2012

Kehidupan Bagiku


Bukan masalah berapa lama kita hidup, tapi bagaimana kita hidup. Bagaimana kita memberi makna dan bagaimana kita memberi warna.
Hidup akan bermakna manakala kita sadar dan mengerti hakikat untuk apa kita diciptakan dan untuk siapa kita tercipta (QS. 51:56), apa motivasi kita hidup dan apa cita-cita hidup. Dan tentunya bagaimana hidup agar bermanfaat untuk sekitar kita.
Hidup akan berwarna manakala kita menyadari bahwa kita diciptakan tidaklah sama. Masing-masing kita mempunyai sesuatu yang berbeda yang patut kita banggakan, itulah identitas kita. Perbedaan suku, ras, bahasa, budaya bahkan agama bukan alasan yang menjadikan permusuhan antara kita. Di atas perbedaan kita dicipta (QS. 49:13), di atas perbedaan kita dibawa pada satu perdamaian (One Piece), yaitu "ISLAM". (QS. 03:64)

Jumat, 29 Juni 2012


FIQIH LINGKUNGAN (FIQHUL BI’AH)


oleh:
Mushlih Candrakusuma


PENDAHULUAN
Hukum dalam masyarakat manapun, dibuat dengan tujuan untuk mengatur dan mengendalikan lingkungan kehidupan dalam masyarakat. Ia merupakan sistem yang ditegakan untuk melindungungi hak individu maupun masyarakat secara luas. Di setiap tempat, sistem hukum tersebut memiliki sifat, karakter dan ruang lingkup sendiri. Dalam kaitan ini, Islam sebagai agama yang ajarannya universal, dalam arti mencangkup semua manusia di dunia dan juga memiliki sistem hukum sendiri yang dikenal dengan Fiqih.
Selama ini Fiqih dipahami sebagai bentuk kewajiban yang berhubungan dengan Allah (ibadah) dan kewajiban yang berhubungan dengan manusia dalam rangka menjamin ketertiban dalam masyarakat (muamalah). Disadari ataupun tidak, pemahaman umat Islam seperti ini telah meninggalkan salah satu aspek yang juga penting dalam rangka jaminan ketertiban dalam masyarakat, yaitu lingkungan. Oleh karena itu, Islam sebagai agama yang universal harus dipahami secara lebih luas, bukan hanya hubungan manusia dengan Allah ataupun dengan sesama manusia, tetapi juga dengan alam.


PEMBAHASAN
A. Latar Belakang dan Pengertian Fiqh Lingkungan
Bencana terjadi dimana-mana. Banjir, tanah longsor, kekeringan dan kebakaran hutan menjadi berita yang telah akrab di telinga kita. Alam telah mati, sehingga tidak mampu lagi memberikan kesejukan dan perlindungan buat manusia. Alam yang selama ini selalu menjadi sahabat manusia, berubah menjadi musuh yang paling menakutkan. Alam murka kepada manusia yang telah merusaknya. Ketika hujan turun, banjir dan tanah longsor terjadi di mana-mana, sebab tidak ada lagi pepohonan yang dapat menahan laju air. Pada saat musim kemarau, terjadi kekeringan di mana-mana. Mungkin inilah balasan yang harus diterima oleh manusia akibat ulahnya atas lingkungan yang mengabaikan norma dan etika.
Pada hakikatnya alam semesta beserta isinya bagaimanapun keadaannya, adalah fasilitas untuk mencapai kesejahteraan umat manusia. Memang itulah kodratnya, alam diciptakan untuk selalu memberikan yang terbaik buat kelangsungan hidup manusia. Darinya manusia memperoleh makan, minum, perlindungan, keselamatan dan mata pencaharian hidup. Firman Allah SWT:
  •    •             ••            
Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.
Karena itu, sungguh beruntunglah negara yang memiliki wilayah hamparan luas hijau terbentang, berbagai kekayaan alam akan muncul di dalamnya. Sebagai kompensasinya, manusia diminta untuk merawat dan melestarikannya. Manusia hanya diminta menjaganya agar apa yang menjadi kekayaan alam tersebut tetap lestari dan terus dapat dimikmati oleh manusia, caranya dengan memenuhi kebutuhan-krbutuhan yang diperlukan alam serta menjauhkan dari hal-hal yang mengancam kepunahan alam serta isinya. Manusia hanya diminta untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan-Nya, sehingga alam yang telah diberikan menjadi lestari dan dapat dinikmati secara terus-menerus oleh umat manusia, bahkan terus ditambah oleh Allah SWT.
         •   
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
Namun yang terjadi malah sebaliknya, manusia tidak mau mensyukuri nikmat yang telah diberikan. Dengan rakus manusia hanya mengambil untungnya saja, mengeksploitasi alam secara besar-besaran. Sementara kewajiban tidak pernah dikerjakan. Akhirnya Allah SWT memenuhi kepada orang-orang yang tidak mau bersyukur. Banjir melanda, longsor menerjang, badai menyapa, hama mengganas dan kebakaran hutan terus terjadi.
Krisis lingkungan adalah refleksi krisis spiritual paling dalam umat manusia. Karena menangnya humanisme yang memutlakkan si manusia bumi, alam dan lingkungan di perkosa atas nama hak-hak manusia. Baginya jika pandangan tardisional Islam tentang alam dan lingkungan tidak ditegaskan kembali, krisis mengerikan ini tidak mungkin teratasi.
Islam merupakan agama (jalan hidup) yang sangat memperhatikan tentang lingkungan dan keberlanjutan kehidupan di dunia. Banyak ayat Al-qur’an dan hadits yang menjelaskan, menganjurkan bahkan mewajibkan setiap manusia untuk menjaga kelangsungan kehidupannya dan kehidupan makhluk lain dibumi. Konsep yang berkaitan dengan penyelamatan dan konservasi lingkungan (alam) menyatu tak terpisahkan dengan konsep keesaan Tuhan (tauhid), syariah, dan akhlak.
Dalam perspektif hukum Islam, pelestarian lingkungan dan tanggung jawab manusia terhadap alam sebenarnya sudah lama dibicarakan. Hanya saja, dalam berbagai literatur tafsir dan fikih, isu-isu tersebut dikupas secara generik dan terpisah-pisah, belum spesifik dan utuh. Ini bisa dimengerti karena konteks perkembangan struktur dan budaya masyarakat waktu itu belum menghadapi krisis lingkungan sebagaimana terjadi sekarang ini. Karenanya, penguatan peran hukum Islam dalam konteks persoalan-modern, semisal nasib bumi ke depan, menjadi hal yang niscaya, bahkan ia menjadi mata rantai dari sejarah perkembangan hukum Islam yang menyertai peradaban manusia. Upaya merumuskan fiqih lingkungan menjadi kian penting di tengah krisis ekologis secara sistematis yang diakibatkan oleh keserakahan, kecerobohan dan kesombongan manusia.
Fiqih lingkungan merupakan seperangkat aturan tentang perilaku ekologis masyarakat Muslim yang ditetapkan oleh yang berkompeten berdasarkan teks Syar’i dengan tujuan untuk mencapai kemashlahatan bersama dan melestarikan lingkungan. Dari pengertian ini terdapat tiga hal yang perlu dijabarkan lebih lanjut, yaitu:
1. Yang dimaksud dengan seperangkat aturan tentang perilaku ekologis masyarakat muslim adalah ketentuan peringkat hukum perilaku yang diklasifikasikan dalam kategori perilaku wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram (Al-Ahkamul Khamsah). Dengan demikian unsur pertama dalam fiqih lingkungan adalah ketetapan status hukum perilaku yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Rumusan status hukum tersebut didasarkan pada kepentingan manusia dan kepentingan perlindungan kelestarian alam lingkungan secara seimbang.
2. Yang dimaksud dengan ditetapkan oleh yang berkompeten adalah yang berwenang menetapkan fiqih lingkungan adalah hanya orang yang memenuhi persyaratan sebagai perumus fiqih lingkungan, yaitu mutahid lingkungan. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi oleh mujtahid lingkungan setidaknya meliputi empat hal, yaitu memiliki kemampuan memahami ayat-ayat dan hadits-hadits lingkungan, memiliki kemampuan metodologis menetapkan hukum Islam, memiliki pengetahuan yang memadai tentang persoalan lingkungan serta memiliki kemampuan kerja dan interdisipliner ekoreligi Islam.
3. Yang dimaksud dengan berdasarkan teks Syar’i adalah ketetapan fiqih lingkungan harus didasarkan pada dalil Al-Qur’an, Hadits dan ijtihad secara simultan sesuai dengan peluangnya masing-masing.
B. Urgensi Fiqih Lingkungan
Ketika krisis lingkungan yang semakin memburuk tidak mampu diatasi dengan seperangkat teknologi, sains dan hukum (undang-undang) sekuler, masyarakat dunia membutuhkan peran agama guna menumbuhkan kesadaran otentik dalam diri manusia, yaitu nilai-nilai agama. Artinya, pemahaman agama saat ini tidak lagi berkutat pada masalah-masalah spiritual, tetapi juga harus beranjak ke aspek-aspek nyata masyarakat pemeluknya dalam hal ini kepedulian terhadap lingkungan. Dengan nilai-nilai agama, manusia akan memiliki kecakapan mengatasi dan ketajaman membaca tanda-tanda zaman berikut kemampuan menciptakan seperangkat nilai untuk melestarikannya lewat hukum dan sejumlah peraturan.
Manusia hanya sebagai ciptaan yang tujuan penciptaannya adalah untuk beribadah dan menjadi pengatur di muka bumi. Dengan prinsip ibadah dan khalifah, seharusnya manusia mengelola alam dengan prinsip pengabdian dan pengaturan. Pengabdian berarti manusia mengelola alam dengan cara yang menunjukkan bakti kepada Allah SWT. Sedangkan pengaturan berarti mengelola lingkungan untuk kebutuhan dirinya dengan cara menjaga keawetan dan kelestarian kualitas alam. Alam sendiri pada dasarnya juga mempunyai perjanjian tersenderi dengan Allah. Al-Qur’an menyebutkan bahwa seluruh ciptaan yang ada di bumi dan di langit bertasbih kepada Allah, namun manusia tidak mengetahui tasbihnya.
Allah SWT telah mengamanahkan pada manusia tiga hal yang perlu dijaga supaya tidak termasuk orang yang fasik. Hal ini sebagaimana tertuang dalam firman Allah Qs. Al-Baqarah: 26-27 yang artinya kurang lebih: “…tetapi tidak ada yang Dia sesatkan dengan (perumpamaan) itu selain orang-orang fasik. (Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah (kufur akidah) dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan (kufur insaniyah/ijtima'iayah) dan berbuat kerusakan di bumi (kufur kauniyah/ekologi). Mereka itulah orang-orang yang rugi.” Tiga karakteristik manusia dalam ayat tersebut kemudian harus menjadi rambu-rambu bagi keislaman dan keimanan. Berdasarkan ayat di atas, terdapat tiga bentuk proses menuju keselamatan (Islam) dan keamanan (Iman) yang bisa diekspresikan. Pertama, mengakui ke-Esaan Allah. Kedua, menjalin hubungan yang baik dengan sesama manusia; dan Ketiga, menjalin hubungan yang seimbang dengan alam.
Imam Yusuf Qaradhawi, dalam kitabnya Ri’ayat al-Bi’ah fi Syariat al-Islam, memasukkan pemeliharaan lingkungan (hifdz al-‘alam) ke dalam bagian maqashid al-syari’ah (tujuan syariat). Dalam hal ini, ada dua hal yang harus kita lakukan dalam menggali dasar-dasar fikih lingkungan. Pertama, menjelaskan hikmah perennial Islam tentang tatanan dan struktur bumi dan alam dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia. Kedua, menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran bumi yang berperspektif teologis atau membangun teologi yang berbasis kesadaran dan kearifan bumi.
Dengan demikian, tujuan diproyeksikannya maqashid al-syari’ah adalah untuk menjaga kekayaan bumi, menjaga sumber-sumbernya, menumbuhkembangkan hasil dan produk-produknya, menyadarkan akibat dari pengrusakan kawasan bumi, serta pola pemerataannya pada seluruh lapisan umat manusia. Setiap tindakan yang menafikan tujuan-tujuan tersebut sama halnya menghilangkan tujuan-tujuan syariat Islam dan menodai prinsip-prinsip kepentingan yang terkandung di dalamnya.
Jika selama ini ada lima komponen hidup yang harus dipelihara oleh seluruh manusia yakni hifdzul nafs (menjaga jiwa), hifdzul aql (menjaga akal), hifdzul maal (menjaga harta), hifdzul nasl (menjaga keturunan) dan hifdzud diin (menjaga agama). Saya ini menggali bahwa termasuk sekarang ini menjadi masalah besar dan harus diberi tempat perkembangannya yaitu kerusakan lingkungan hidup. Jadi kalau kita dalam kaidah mengatakan perlu ada hifdzul nafs atau hifdzud diin, maka sekarang ini patut kita masukkan ke dasar agama adalah hifdzul bi’ah (memelihara lingkungan hidup). Itu kepentingan kehidupan manusia. Seluruh manusia berkepentingan terhadap kebersihan lingkungan, terhadap keselamatan lingkungan.
C. Rumusan dan Pengembangan Fiqih Lingkungan
Merumuskan sebuah fiqh lingkungan (fiqh al-bi’ah) menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Yaitu, sebuah fiqh yang menjelaskan sebuah aturan tentang perilaku ekologis masyarakat muslim berdasarkan teks syar’i dengan tujuan mencapai kemaslahatan dan melestarikan lingkungan.
Dalam rangka menyusun fiqh lingkungan ini (fiqh al-bi’ah), ada beberapa nilai yang harus dipedomani sebagai landasan praktis dalam merumuskan dan mengembangkan fikih lingkungan, yaitu:
1. Rekonstruksi makna khalifah. Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa menjadi khalifah di muka bumi ini tidak untuk melakukan perusakan dan pertumpahan darah. Tetapi untuk membangun kehidupan yang damai, sejahtera, dan penuh keadilan. Dengan demikian, manusia yang melakukan kerusakan di muka bumi ini secara otomatis mencoreng atribut manusia sebagai khalifah (QS. al-Baqarah: 30). Karena, walaupun alam diciptakan untuk kepentingan manusia (QS. Luqman: 20), tetapi tidak diperkenankan menggunakannya secara semena-mena. Sehingga, perusakan terhadap alam merupakan bentuk dari pengingkaran terhadap ayat-ayat (keagungan) Allah, dan akan dijauhkan dari rahmat-Nya (QS. al-A’raf: 56). Karena itulah, pemahaman bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi ini bebas melakukan apa saja terhadap lingkungan sekitarnya sungguh tidak memiliki sandaran teologisnya. Justru, segala bentuk eksploitasi dan perusakan terhadap alam merupakan pelanggaran.
2. Ekologi sebagai doktrin ajaran. Artinya, menempatkan wacana lingkungan bukan pada cabang (furu’), tetapi termasuk doktrin utama (ushul) ajaran Islam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi dalam Ri’ayah al-Bi’ah fiy Syari’ah al-Islam, bahwa memelihara lingkungan sama halnya dengan menjaga lima tujuan dasar Islam (maqashid al-syari’ah). Sebab, kelima tujuan dasar tersebut bisa terejawantah jika lingkungan dan alam semesta mendukungnya. Karena itu, memelihara lingkungan sama hukumnya dengan maqashid al-syari’ah.
3. Tidak sempurna iman seseorang jika tidak peduli lingkungan. Keberimanan seseorang tidak hanya diukur dari banyaknya ritual di tempat ibadah. Tapi, juga menjaga dan memelihara lingkungan merupakan hal yang sangat fundamental dalam kesempurnaan iman seseorang. Nabi bersabda bahwa kebersihan adalah bagian dari iman. Hadits tersebut menunjukkan bahwa kebersihan sebagai salah satu elemen dari pemeriharaan lingkungan (ri’ayah al-bi’ah) merupakan bagian dari iman. Apalagi, dalam tinjauan qiyas aulawi, menjaga lingkungan secara keseluruhan, sungguh benar-benar yang sangat terpuji di hadapan Allah.
4. Segala tindakan yang merusak keseimbangan dan kelestarian bumi dan alam pada dasarnya merupakan pelanggaran agama dan berdosa. Allah SWT berfirman:
        •  •      
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
Ungkapan janganlah berbuat kerusakan di muka bumi sesudah direformasi (wa la tufsidu fii al-ardl ba’da ishlahiha) mengandung makna ganda. (1) larangan merusak bumi setelah perbaikan (ishlah), yaitu saat bumi ini diciptakan Allah SWT. Makna ini menunjukkan tugas manusia untuk melindungi bumi itu yang sudah merupakan tempat yang baik bagi hidup manusia. Jadi, larangan merusak bumi berkaitan dengan usaha pelestarian lingkungan hidup yang sehat dan alami. (2), larangan membuat kerusakan di bumi setelah terjadi perbaikan oleh sesama manusia. Hal ini bersangkutan dengan tugas reformasi aktif manusia untuk berusaha menciptakan sesuatu yang baru, yang baik (shalih) dan membawa kebaikan (mashlahah) untuk manusia.
5. Perusak lingkungan adalah kafir ekologis (kufr al-bi’ah). Di antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah adanya jagad raya (alam semesta) ini. Karena itulah, merusak lingkungan sama halnya dengan ingkar (kafir) terhadap kebesaran Allah. Sebagaimana Firman Allah:
                 • 
Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu Karena mereka akan masuk neraka.
Ayat ini menerangkan kepada kita bahwa memahami alam secara sia-sia merupakan pandangan orang-orang kafir. Apalagi, ia sampai melakukan perusakan dan pemerkosaan terhadap alam. Dan, kata kafir tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang tidak percaya kepada Allah, tetapi juga ingkar terhadap seluruh nikmat yang diberikanNya kepada manusia, termasuk adanya alam semesta ini.
6. Kita perlu memperjuangkan politik hijau (green politic), sebuah gerakan mendampingi pembangunan agar berperspektif ekologis. Kebijakan-kebijakan politik yang anti-ekologi diarahkan menuju kebijakan politik yang sadar lingkungan (ecological politic). Hal ini penting karena kerusakan alam yang sedemikian parah tidak mungkin hanya diselesaikan melalui pendekatan agama. Akan tetapi, perlu pendekatan yang komprehensif. Mulai dari agama, ekonomi, politik, budaya, dan sosial bersatu padu menangani krisis ekologis ini. Penguasa punya kewajiban menjaga dan melindungi hak-hak warganya dan aset-aset alam yang dimiliknya, melalui serangkaian kebijakan berorientasi pada kepentingan bersama.


DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Mujiyono. Epistemologi Syara’: Mencari Format Baru Fiqih Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Al-Qur’an.
Fanani, Muhyar. Metode Study Islam: Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara Pandang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
http://id.shvoong.com/humanities/1805149-merintis-fiqih-lingkungan-hidup/#ixzz1eythm72o.
http://immunnes.blogspot.com/2006/12/sabtu-16-desember-2006-www.html.
http://moozes.multiply.com/journal/item/48/Fiqh_Lingkungan.
http://sekedarcoretankecil.blogspot.com/2008/06/prof-kh-ali-yafie-menjaga-alam-wajib.
http://www.islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=216.
Shihab, Quraish. Membumukan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1996.
Supriyadi, Dedi. Fiqih Bernuansa Tasawauf Al-Ghazali: Perpaduan Antara Syari’at dan Hakikat. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Yazid, Abu. Fiqh Realita: Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.