Motto

"MEMBACA UNTUK MENULIS, MENULIS UNTUK DIBACA"

Jumat, 29 Juni 2012


FIQIH LINGKUNGAN (FIQHUL BI’AH)


oleh:
Mushlih Candrakusuma


PENDAHULUAN
Hukum dalam masyarakat manapun, dibuat dengan tujuan untuk mengatur dan mengendalikan lingkungan kehidupan dalam masyarakat. Ia merupakan sistem yang ditegakan untuk melindungungi hak individu maupun masyarakat secara luas. Di setiap tempat, sistem hukum tersebut memiliki sifat, karakter dan ruang lingkup sendiri. Dalam kaitan ini, Islam sebagai agama yang ajarannya universal, dalam arti mencangkup semua manusia di dunia dan juga memiliki sistem hukum sendiri yang dikenal dengan Fiqih.
Selama ini Fiqih dipahami sebagai bentuk kewajiban yang berhubungan dengan Allah (ibadah) dan kewajiban yang berhubungan dengan manusia dalam rangka menjamin ketertiban dalam masyarakat (muamalah). Disadari ataupun tidak, pemahaman umat Islam seperti ini telah meninggalkan salah satu aspek yang juga penting dalam rangka jaminan ketertiban dalam masyarakat, yaitu lingkungan. Oleh karena itu, Islam sebagai agama yang universal harus dipahami secara lebih luas, bukan hanya hubungan manusia dengan Allah ataupun dengan sesama manusia, tetapi juga dengan alam.


PEMBAHASAN
A. Latar Belakang dan Pengertian Fiqh Lingkungan
Bencana terjadi dimana-mana. Banjir, tanah longsor, kekeringan dan kebakaran hutan menjadi berita yang telah akrab di telinga kita. Alam telah mati, sehingga tidak mampu lagi memberikan kesejukan dan perlindungan buat manusia. Alam yang selama ini selalu menjadi sahabat manusia, berubah menjadi musuh yang paling menakutkan. Alam murka kepada manusia yang telah merusaknya. Ketika hujan turun, banjir dan tanah longsor terjadi di mana-mana, sebab tidak ada lagi pepohonan yang dapat menahan laju air. Pada saat musim kemarau, terjadi kekeringan di mana-mana. Mungkin inilah balasan yang harus diterima oleh manusia akibat ulahnya atas lingkungan yang mengabaikan norma dan etika.
Pada hakikatnya alam semesta beserta isinya bagaimanapun keadaannya, adalah fasilitas untuk mencapai kesejahteraan umat manusia. Memang itulah kodratnya, alam diciptakan untuk selalu memberikan yang terbaik buat kelangsungan hidup manusia. Darinya manusia memperoleh makan, minum, perlindungan, keselamatan dan mata pencaharian hidup. Firman Allah SWT:
  •    •             ••            
Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.
Karena itu, sungguh beruntunglah negara yang memiliki wilayah hamparan luas hijau terbentang, berbagai kekayaan alam akan muncul di dalamnya. Sebagai kompensasinya, manusia diminta untuk merawat dan melestarikannya. Manusia hanya diminta menjaganya agar apa yang menjadi kekayaan alam tersebut tetap lestari dan terus dapat dimikmati oleh manusia, caranya dengan memenuhi kebutuhan-krbutuhan yang diperlukan alam serta menjauhkan dari hal-hal yang mengancam kepunahan alam serta isinya. Manusia hanya diminta untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan-Nya, sehingga alam yang telah diberikan menjadi lestari dan dapat dinikmati secara terus-menerus oleh umat manusia, bahkan terus ditambah oleh Allah SWT.
         •   
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
Namun yang terjadi malah sebaliknya, manusia tidak mau mensyukuri nikmat yang telah diberikan. Dengan rakus manusia hanya mengambil untungnya saja, mengeksploitasi alam secara besar-besaran. Sementara kewajiban tidak pernah dikerjakan. Akhirnya Allah SWT memenuhi kepada orang-orang yang tidak mau bersyukur. Banjir melanda, longsor menerjang, badai menyapa, hama mengganas dan kebakaran hutan terus terjadi.
Krisis lingkungan adalah refleksi krisis spiritual paling dalam umat manusia. Karena menangnya humanisme yang memutlakkan si manusia bumi, alam dan lingkungan di perkosa atas nama hak-hak manusia. Baginya jika pandangan tardisional Islam tentang alam dan lingkungan tidak ditegaskan kembali, krisis mengerikan ini tidak mungkin teratasi.
Islam merupakan agama (jalan hidup) yang sangat memperhatikan tentang lingkungan dan keberlanjutan kehidupan di dunia. Banyak ayat Al-qur’an dan hadits yang menjelaskan, menganjurkan bahkan mewajibkan setiap manusia untuk menjaga kelangsungan kehidupannya dan kehidupan makhluk lain dibumi. Konsep yang berkaitan dengan penyelamatan dan konservasi lingkungan (alam) menyatu tak terpisahkan dengan konsep keesaan Tuhan (tauhid), syariah, dan akhlak.
Dalam perspektif hukum Islam, pelestarian lingkungan dan tanggung jawab manusia terhadap alam sebenarnya sudah lama dibicarakan. Hanya saja, dalam berbagai literatur tafsir dan fikih, isu-isu tersebut dikupas secara generik dan terpisah-pisah, belum spesifik dan utuh. Ini bisa dimengerti karena konteks perkembangan struktur dan budaya masyarakat waktu itu belum menghadapi krisis lingkungan sebagaimana terjadi sekarang ini. Karenanya, penguatan peran hukum Islam dalam konteks persoalan-modern, semisal nasib bumi ke depan, menjadi hal yang niscaya, bahkan ia menjadi mata rantai dari sejarah perkembangan hukum Islam yang menyertai peradaban manusia. Upaya merumuskan fiqih lingkungan menjadi kian penting di tengah krisis ekologis secara sistematis yang diakibatkan oleh keserakahan, kecerobohan dan kesombongan manusia.
Fiqih lingkungan merupakan seperangkat aturan tentang perilaku ekologis masyarakat Muslim yang ditetapkan oleh yang berkompeten berdasarkan teks Syar’i dengan tujuan untuk mencapai kemashlahatan bersama dan melestarikan lingkungan. Dari pengertian ini terdapat tiga hal yang perlu dijabarkan lebih lanjut, yaitu:
1. Yang dimaksud dengan seperangkat aturan tentang perilaku ekologis masyarakat muslim adalah ketentuan peringkat hukum perilaku yang diklasifikasikan dalam kategori perilaku wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram (Al-Ahkamul Khamsah). Dengan demikian unsur pertama dalam fiqih lingkungan adalah ketetapan status hukum perilaku yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Rumusan status hukum tersebut didasarkan pada kepentingan manusia dan kepentingan perlindungan kelestarian alam lingkungan secara seimbang.
2. Yang dimaksud dengan ditetapkan oleh yang berkompeten adalah yang berwenang menetapkan fiqih lingkungan adalah hanya orang yang memenuhi persyaratan sebagai perumus fiqih lingkungan, yaitu mutahid lingkungan. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi oleh mujtahid lingkungan setidaknya meliputi empat hal, yaitu memiliki kemampuan memahami ayat-ayat dan hadits-hadits lingkungan, memiliki kemampuan metodologis menetapkan hukum Islam, memiliki pengetahuan yang memadai tentang persoalan lingkungan serta memiliki kemampuan kerja dan interdisipliner ekoreligi Islam.
3. Yang dimaksud dengan berdasarkan teks Syar’i adalah ketetapan fiqih lingkungan harus didasarkan pada dalil Al-Qur’an, Hadits dan ijtihad secara simultan sesuai dengan peluangnya masing-masing.
B. Urgensi Fiqih Lingkungan
Ketika krisis lingkungan yang semakin memburuk tidak mampu diatasi dengan seperangkat teknologi, sains dan hukum (undang-undang) sekuler, masyarakat dunia membutuhkan peran agama guna menumbuhkan kesadaran otentik dalam diri manusia, yaitu nilai-nilai agama. Artinya, pemahaman agama saat ini tidak lagi berkutat pada masalah-masalah spiritual, tetapi juga harus beranjak ke aspek-aspek nyata masyarakat pemeluknya dalam hal ini kepedulian terhadap lingkungan. Dengan nilai-nilai agama, manusia akan memiliki kecakapan mengatasi dan ketajaman membaca tanda-tanda zaman berikut kemampuan menciptakan seperangkat nilai untuk melestarikannya lewat hukum dan sejumlah peraturan.
Manusia hanya sebagai ciptaan yang tujuan penciptaannya adalah untuk beribadah dan menjadi pengatur di muka bumi. Dengan prinsip ibadah dan khalifah, seharusnya manusia mengelola alam dengan prinsip pengabdian dan pengaturan. Pengabdian berarti manusia mengelola alam dengan cara yang menunjukkan bakti kepada Allah SWT. Sedangkan pengaturan berarti mengelola lingkungan untuk kebutuhan dirinya dengan cara menjaga keawetan dan kelestarian kualitas alam. Alam sendiri pada dasarnya juga mempunyai perjanjian tersenderi dengan Allah. Al-Qur’an menyebutkan bahwa seluruh ciptaan yang ada di bumi dan di langit bertasbih kepada Allah, namun manusia tidak mengetahui tasbihnya.
Allah SWT telah mengamanahkan pada manusia tiga hal yang perlu dijaga supaya tidak termasuk orang yang fasik. Hal ini sebagaimana tertuang dalam firman Allah Qs. Al-Baqarah: 26-27 yang artinya kurang lebih: “…tetapi tidak ada yang Dia sesatkan dengan (perumpamaan) itu selain orang-orang fasik. (Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah (kufur akidah) dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan (kufur insaniyah/ijtima'iayah) dan berbuat kerusakan di bumi (kufur kauniyah/ekologi). Mereka itulah orang-orang yang rugi.” Tiga karakteristik manusia dalam ayat tersebut kemudian harus menjadi rambu-rambu bagi keislaman dan keimanan. Berdasarkan ayat di atas, terdapat tiga bentuk proses menuju keselamatan (Islam) dan keamanan (Iman) yang bisa diekspresikan. Pertama, mengakui ke-Esaan Allah. Kedua, menjalin hubungan yang baik dengan sesama manusia; dan Ketiga, menjalin hubungan yang seimbang dengan alam.
Imam Yusuf Qaradhawi, dalam kitabnya Ri’ayat al-Bi’ah fi Syariat al-Islam, memasukkan pemeliharaan lingkungan (hifdz al-‘alam) ke dalam bagian maqashid al-syari’ah (tujuan syariat). Dalam hal ini, ada dua hal yang harus kita lakukan dalam menggali dasar-dasar fikih lingkungan. Pertama, menjelaskan hikmah perennial Islam tentang tatanan dan struktur bumi dan alam dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia. Kedua, menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran bumi yang berperspektif teologis atau membangun teologi yang berbasis kesadaran dan kearifan bumi.
Dengan demikian, tujuan diproyeksikannya maqashid al-syari’ah adalah untuk menjaga kekayaan bumi, menjaga sumber-sumbernya, menumbuhkembangkan hasil dan produk-produknya, menyadarkan akibat dari pengrusakan kawasan bumi, serta pola pemerataannya pada seluruh lapisan umat manusia. Setiap tindakan yang menafikan tujuan-tujuan tersebut sama halnya menghilangkan tujuan-tujuan syariat Islam dan menodai prinsip-prinsip kepentingan yang terkandung di dalamnya.
Jika selama ini ada lima komponen hidup yang harus dipelihara oleh seluruh manusia yakni hifdzul nafs (menjaga jiwa), hifdzul aql (menjaga akal), hifdzul maal (menjaga harta), hifdzul nasl (menjaga keturunan) dan hifdzud diin (menjaga agama). Saya ini menggali bahwa termasuk sekarang ini menjadi masalah besar dan harus diberi tempat perkembangannya yaitu kerusakan lingkungan hidup. Jadi kalau kita dalam kaidah mengatakan perlu ada hifdzul nafs atau hifdzud diin, maka sekarang ini patut kita masukkan ke dasar agama adalah hifdzul bi’ah (memelihara lingkungan hidup). Itu kepentingan kehidupan manusia. Seluruh manusia berkepentingan terhadap kebersihan lingkungan, terhadap keselamatan lingkungan.
C. Rumusan dan Pengembangan Fiqih Lingkungan
Merumuskan sebuah fiqh lingkungan (fiqh al-bi’ah) menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Yaitu, sebuah fiqh yang menjelaskan sebuah aturan tentang perilaku ekologis masyarakat muslim berdasarkan teks syar’i dengan tujuan mencapai kemaslahatan dan melestarikan lingkungan.
Dalam rangka menyusun fiqh lingkungan ini (fiqh al-bi’ah), ada beberapa nilai yang harus dipedomani sebagai landasan praktis dalam merumuskan dan mengembangkan fikih lingkungan, yaitu:
1. Rekonstruksi makna khalifah. Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa menjadi khalifah di muka bumi ini tidak untuk melakukan perusakan dan pertumpahan darah. Tetapi untuk membangun kehidupan yang damai, sejahtera, dan penuh keadilan. Dengan demikian, manusia yang melakukan kerusakan di muka bumi ini secara otomatis mencoreng atribut manusia sebagai khalifah (QS. al-Baqarah: 30). Karena, walaupun alam diciptakan untuk kepentingan manusia (QS. Luqman: 20), tetapi tidak diperkenankan menggunakannya secara semena-mena. Sehingga, perusakan terhadap alam merupakan bentuk dari pengingkaran terhadap ayat-ayat (keagungan) Allah, dan akan dijauhkan dari rahmat-Nya (QS. al-A’raf: 56). Karena itulah, pemahaman bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi ini bebas melakukan apa saja terhadap lingkungan sekitarnya sungguh tidak memiliki sandaran teologisnya. Justru, segala bentuk eksploitasi dan perusakan terhadap alam merupakan pelanggaran.
2. Ekologi sebagai doktrin ajaran. Artinya, menempatkan wacana lingkungan bukan pada cabang (furu’), tetapi termasuk doktrin utama (ushul) ajaran Islam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi dalam Ri’ayah al-Bi’ah fiy Syari’ah al-Islam, bahwa memelihara lingkungan sama halnya dengan menjaga lima tujuan dasar Islam (maqashid al-syari’ah). Sebab, kelima tujuan dasar tersebut bisa terejawantah jika lingkungan dan alam semesta mendukungnya. Karena itu, memelihara lingkungan sama hukumnya dengan maqashid al-syari’ah.
3. Tidak sempurna iman seseorang jika tidak peduli lingkungan. Keberimanan seseorang tidak hanya diukur dari banyaknya ritual di tempat ibadah. Tapi, juga menjaga dan memelihara lingkungan merupakan hal yang sangat fundamental dalam kesempurnaan iman seseorang. Nabi bersabda bahwa kebersihan adalah bagian dari iman. Hadits tersebut menunjukkan bahwa kebersihan sebagai salah satu elemen dari pemeriharaan lingkungan (ri’ayah al-bi’ah) merupakan bagian dari iman. Apalagi, dalam tinjauan qiyas aulawi, menjaga lingkungan secara keseluruhan, sungguh benar-benar yang sangat terpuji di hadapan Allah.
4. Segala tindakan yang merusak keseimbangan dan kelestarian bumi dan alam pada dasarnya merupakan pelanggaran agama dan berdosa. Allah SWT berfirman:
        •  •      
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
Ungkapan janganlah berbuat kerusakan di muka bumi sesudah direformasi (wa la tufsidu fii al-ardl ba’da ishlahiha) mengandung makna ganda. (1) larangan merusak bumi setelah perbaikan (ishlah), yaitu saat bumi ini diciptakan Allah SWT. Makna ini menunjukkan tugas manusia untuk melindungi bumi itu yang sudah merupakan tempat yang baik bagi hidup manusia. Jadi, larangan merusak bumi berkaitan dengan usaha pelestarian lingkungan hidup yang sehat dan alami. (2), larangan membuat kerusakan di bumi setelah terjadi perbaikan oleh sesama manusia. Hal ini bersangkutan dengan tugas reformasi aktif manusia untuk berusaha menciptakan sesuatu yang baru, yang baik (shalih) dan membawa kebaikan (mashlahah) untuk manusia.
5. Perusak lingkungan adalah kafir ekologis (kufr al-bi’ah). Di antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah adanya jagad raya (alam semesta) ini. Karena itulah, merusak lingkungan sama halnya dengan ingkar (kafir) terhadap kebesaran Allah. Sebagaimana Firman Allah:
                 • 
Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu Karena mereka akan masuk neraka.
Ayat ini menerangkan kepada kita bahwa memahami alam secara sia-sia merupakan pandangan orang-orang kafir. Apalagi, ia sampai melakukan perusakan dan pemerkosaan terhadap alam. Dan, kata kafir tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang tidak percaya kepada Allah, tetapi juga ingkar terhadap seluruh nikmat yang diberikanNya kepada manusia, termasuk adanya alam semesta ini.
6. Kita perlu memperjuangkan politik hijau (green politic), sebuah gerakan mendampingi pembangunan agar berperspektif ekologis. Kebijakan-kebijakan politik yang anti-ekologi diarahkan menuju kebijakan politik yang sadar lingkungan (ecological politic). Hal ini penting karena kerusakan alam yang sedemikian parah tidak mungkin hanya diselesaikan melalui pendekatan agama. Akan tetapi, perlu pendekatan yang komprehensif. Mulai dari agama, ekonomi, politik, budaya, dan sosial bersatu padu menangani krisis ekologis ini. Penguasa punya kewajiban menjaga dan melindungi hak-hak warganya dan aset-aset alam yang dimiliknya, melalui serangkaian kebijakan berorientasi pada kepentingan bersama.


DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Mujiyono. Epistemologi Syara’: Mencari Format Baru Fiqih Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Al-Qur’an.
Fanani, Muhyar. Metode Study Islam: Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara Pandang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
http://id.shvoong.com/humanities/1805149-merintis-fiqih-lingkungan-hidup/#ixzz1eythm72o.
http://immunnes.blogspot.com/2006/12/sabtu-16-desember-2006-www.html.
http://moozes.multiply.com/journal/item/48/Fiqh_Lingkungan.
http://sekedarcoretankecil.blogspot.com/2008/06/prof-kh-ali-yafie-menjaga-alam-wajib.
http://www.islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=216.
Shihab, Quraish. Membumukan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1996.
Supriyadi, Dedi. Fiqih Bernuansa Tasawauf Al-Ghazali: Perpaduan Antara Syari’at dan Hakikat. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Yazid, Abu. Fiqh Realita: Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Tidak ada komentar: