Motto

"MEMBACA UNTUK MENULIS, MENULIS UNTUK DIBACA"

Kamis, 05 Juli 2012

PANDANGAN MUHAMMAD SYAHRUR TENTANG RIBA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

RESUME SKRIPSI
PANDANGAN MUHAMMAD SYAHRUR TENTANG RIBA
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(Skripsi Anjar Kususiyanah)


oleh:
Mushlih Candrakusuma



A. Deskripsi Masalah
Dalam bingkai ajaran Islam bermuamalah memiliki kaidah dan prinsip-prinsip syari’at. Allah telah menganjurkan kepada hamba-hambanya untuk beribadah dengan segala upaya di muka bumi dan segala jalan untuk mendapatkan rizki. Allah memelihara usaha orang Islam dari segala kehinaan dan kebinasaan karena orang Islam sejati hanya akan terjun ke dunia perekonomian selalu mengedepankan nilai kehalalan.
Walaupun dengan demikian kita takkan pernah lepas dari persoalan-persoalan yang diantaranya terkait dengan riba dan batasan-batasannya karena pada dasarnya, sejak semula riba sudah diakui sangat potensial menimbulkan masalah karena ketidakjelasan makna yang dikehendaki, bahkan dikalangan sahabat Nabi Saw sekalipun.
Demikian peliknya masalah riba, sehingga pembahasan mengenai hal tersebut semakin marak. Pada zaman modern pun, tak ketinggalan ulama Islam kontemporer Muhammad Syahrur seorang insinyur yang berkebangsaan Syiria datang di tengah-tengah kita menawarkan konsep baru mengenai riba yang ditulis dalam bukunya al-Kitab wa al-Qur’an Qiraah Muatsirah.
Melalui karyanya yang sangat kontroversial Muhammad Shahrur tersebut, al-Kitâb wal Qur’ân: Qirâ’ah Mu`âshirah, teori limit Shahrur telah mengatasi kebuntuan epistemologi yang menimpa karya-karya pemikir sebelumnya., Shahrur menegaskan bahwa teori limit merupakan salah satu pendekatan dalam berijtihad, yang digunakan dalam mengkaji ayat-ayat muhkamât dalam al-Qur’an. Terma limit (hudûd) yang digunakan Shahrur mengacu pada pengertian “batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar, tapi di dalamnya terdapat wilayah ijtihad yang bersifat dinamis, fleksibel, dan elastis.
Menurut Shahrur, teori batas dapat digambarkan sebagai berikut: Perintah Tuhan yang diungkapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah mengatur ketentuan-ketentuan yang merupakan batas terendah (al-had al-adna) dan batas tertinggi (al-had al-a’la) bagi seluruh perbuatan manusia. Secara lebih rinci Shahrur menjelaskan dengan membedakan enam bentuk batasan sebagai berikut;
Pertama, batasan minimum (had adna) ketika ia berdiri sendiri. Contoh batasan ini adalah larangan al-Qur’an untuk mengawini para perempuan yang disebut dalam (Q.S. al-Nisa’: 23).
Menikah dengan anggota keluarga yang termasuk kategori hubungan-hubungan darah ini dilarang, yang diperbolehkan adalah menikah dengan kerabat lain diluar anggota ikatan darah.
Kedua, batasan maksimum (had a’la) yang berdiri sendiri. Contoh batasan ini dapat ditemukan dalam (Q.S. al-Ma’idah: 38), “Pencuri, baik laki-laki maupun perempuan, maka potonglah tangan-tangan mereka.” Di sini, hukuman yang ditentukan mewakili batasan maksimum yang tidak boleh dilampaui. Dalam kasus ini, hukuman bisa dikurangi, berdasarkan kondisi-kondisi obyektif yang berlaku dakam suatu masyarakat tertentu. Adalah tanggungjawab para mujtahid untuk menentukan pencuri yang bertipe apa yang perlu dipotong tangannya, dan tipe apa yang tidak.
Ketiga, batasan minimum dan maksimum ketika keduanya berhubungan. Gambaran dari tipe ini disebutkan dalam ayat al-Qur’an. (Q.S. al-Nisa’[4]: 11) yang berhubungan dengan warisan. Tujuan dari ayat ini menyatakan bahwa “bagian laki-laki sebanding dengan bagian dua perempuan, dan jika terdapat lebih dari dua anak perempuan, maka bagian mereka adalah 2/3 dari harta warisan. Dan jika hanya terdapat satu anak perempuan maka bagian mereka adalah setengah”.
Keempat, perpaduan antara batasan-batasan maksimum dan minimum. Yang menarik di sini adalah bahwa dari seluruh kandungan al-Qur’an dan Sunnah hanya ada satu ayat dalam tipe ini, yakni Q.S. al-Nur [24]:2.
Di sini, batasan maksimum maupun minimum berpadu dalam satu bentuk hukuman, yakni berupa seratus deraan. Tuhan menekankan bahwa pezina seharusnya tidak dikasihani dengan mengurangi hukuman-hukuman yang seharusnya ditimpakan. Hukuman bagi pezina adalah tidak boleh kurang atau lebih dari seratus kali deraan.
Kelima, posisi batas maksimum dengan satu titik mendekati garis lurus tanpa persentuhan. Hubungan seksual antara laki-laki dan permpuan merupakan contoh dalam tipe ini. Dimulai dari titik diatas batas minimum di mana keduanya sama sekali tidak bersentuhan, garis lengkung hanifiyah bergerak ke atas searah dengan batas maksimum dimana mereka hampir melakukan perzinahan, tetapi tidak sampai terjadi.
Keenam, batas maksimum “positif” tidak boleh dilewati dan batas bawah “negatif ” boleh dilewati. Kasus hukum yang menggambarkan tipe ini adalah transaksi keuangan. Batas tertinggi digambarkan sebagai pajak bunga dan batas terendah sebagai pembayaran zakat. Ketika batasan-batasan ini berada dalam posisi positif dan negatif, maka ada sebuah tingkatan yang berada tepat di antaranya yang nilainya sama dengan nol.
Seperti paparan diatas pandangan Muhammad Syahrur tentang riba tidak dapat dipisahkan dengan teori batas (Nadzariyyah al-Hudud) yang berkenaan dengan hukum islam secara umum. Teori yang berkenaan dengan riba ini terdapat pada teori batas keenam yang dirumuskan Muhammad Syahrur dengan istilah Batas Maksimum “Positif” Tidak Boleh Dilewati Dan Batas Bawah “Negatif” Boleh Dilewati. Batasan ini berlaku pada hubungan peralihan harta kekayaan antar manusia. Dua batas ini terdiri dari batas maksimal yang tidak boleh dilanggar, yaitu riba dan batas minimal ini berupa zakat yang dapat dilampaui. Bentuk melampaui batas minimal ini berupa berbagai macam sedekah. Dua batas ini terdapat pada dua daerah yaitu daerah positif dan daerah negatif, dan titik tengah pada posisi netral yang dilambangkan dengan nol. Pada dataran aplikasi, batas maksimal positif berupa riba, batas netral berupa pinjaman tanpa bunga dan pada batas minimal negatif berupa zakat dan sedekah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep riba Muhammad Syahrur perspektif hukum islam?
2. Bagaimana dasar pemikiran konsep riba Muhammad Syahrur perspektif hukum islam?
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui konsep riba Muhammad Syahrur perspektif hukum islam.
2. Untuk mengetahui dasar pemikiran konsep riba Muhammad Syahrur perspektif hukum islam.
Kegunaan Penelitian
1. Secara Akademis, kajian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan kajian hukum Islam, khususnya bagi jurusan Syari’ah Muamalah serta menjadi referensi dan juga refleksi kajian berikutnya yang berkaitan dengan pemikiran Muhammad Syahrur tentang teori batasnya. Selain itu, diharapkan hasil dari kajian ini dapat menarik perhatian peneliti lain, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim, untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang masalah yang serupa.
2. Secara Praktik, dapat membaca dan mengetahui tujuan pemikiran ulama islam kontemporer, yang dalam hal ini adalah Muhammad Syahrur, dengan konsep pembaharuannya dalam menyelesaikan masalah hukum islam, sehingga keterpasungan dan kejumudan cakrawala wacana umat islam semakin terbuka dalam interpretasi kalam tuhan.
C. Telaah Pustaka
Beberapa kajian yang pernah dilakukan terhadap pemikiran Muhammad Syahrur, banyak dituangkan dalam tulisan, buku, jurnal dan juga artikel-artikel, di antaranya:
“Libas Shahrur” yang mencoba untuk menunjukkan kemampuan teori batas. Penelitian ini dikaji okeh Udin Safala., M.H.I., dkk. yang di tulis pada jurnal STAIN Ponorogo. Tela’ah yang dilakukan oleh M. In’am Esha, yang berjudul “M. Shahrur: Teori Batas” dalam buku “Pemikiran Islam Kontemporer”. “Teori batas Muhammad Syahrur dalam perspektif epistimologi”, skripsi karya Alayx Mubarok yang isinya mengenai landasan epistimologi Muhammad Syahrur. “Teori batas Muhammad Syahrur” oleh Rahmawati, yaitu makalah yang berisi tentang siapa Muhammad Syahrur dan pemikiran teori batasnya.
D. Metode yang digunakan
1. Pendekatan dan Jenis penelitian
Skripsi ini merupakan studi literer, dan menggunakan metode diskriptif analitis, dengan menggunakan pendekatan analisa wacana.
2. Sumber data
a. Sumber Data Primer
Penelitian ini menggunakan sumber data primer yang terdiri dari beberapa karya dari Muhammed Syahrur diantaranya: Prinsip dan Dasar Hermeneutika hukum Islam Kontemporer, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer.
b. Sumber Data Sekunder
Penelitian ini menggunakan pula buku-buku pendukung sekunder, untuk membantu menelaah data-data yang dihimpun dan sebagai komparasi dari sumber data primer, antara lain: buku-buku mengenai riba dalam hukum Islam, Jurnal Ilmiah, beberapa artikel ilmiah, ensiklopedi tokoh, dan karya-karya yang mempunyai keterkaitan dengan objek penelitian.
3. Data penelitian
Dalam penelitian ini, ada tiga data yang hendak dikaji, yaitu: (1) gambaran umum tentang Teori Batas Muhammad Syahrur terkhusus pada poin riba, (2) sketsa biografi yang meliputi: latar belakang kultur, pendidikan, sosial budaya berikut karya-karyanya dan posisi Muhammad Syahrur yang merupakan salah satu Mujtahid, (3) Dasar pemikiran Muhammad Syahrur.
4. Teknik analisa data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan analisis kualitatif berupa content analysis (analisis isi teks) atau deskripsi analisis yaitu mengumpulkan dan menyusun data-data kemudian menganalisisnya dengan menggunakan pola pikir. Yang bisa kita jelaskan sebagai berikut:
a. Reduksi Data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data ”kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.
b. Penyajian Data
Alur penting kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian data. Suatu penyajian sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
c. Menarik Kesimpulan/Verifikasi
Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Penarikan kesimpulan sebenarnya sudah mulai dilakukan semenjak pengumpulan, reduksi dan penyajian data, akan tetapi masih dalam bentuk terbuka, longgar dan skeptis, mula-mula belum jelas, namun kemudian menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh, sehingga mencapai kesimpulan yang final.
E. Teori / konsep yang digunakan (Bab II)
Pengertian
Riba menurut bahasa berarti tambah, berkembang, meningkat, dan membesar. Riba mengandung 3 unsur: kelebihan dari pokok pinjaman, kelebihan pembayaran sebagai imbalan tempo pembayaran, jumlah tambahan yang disyaratkan di dalam transaksi. Secara umum riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam islam.
Dasar Hukum
Para ulama fiqh mulai membicarakan tentang riba, ketika mereka memecahkan berbagai macam persoalan muamalah. Menurut Syeh Muhammad Musthofa al-Maroghi proses keharaman riba itu bertahab, di dalam tahap menjelaskan hukum tentang riba juga mengikuti tahap dalam menjelaskan hukum khomer. Diantaranya ada yang memfokuskan bahaya dan akibat khomer. Begitu pula tentang riba, larangan datang secara bertahap.
Tahap pertama, Allah menunjukkan bahwa riba itu bersifat negatif pernyataan ini ditunjjukkan dalam surat ar-Rumm ayat 39. Ayat ini merupakan ayat yang pertama yang membicarakan tentang riba yang menurut para mufassir ayat ini termasuk ayat makiyyah dan ayat ini tidak membicarakan tentang keharaman riba akan tetapi hanya menjelaskan tentang asumsi manusia yang menganggap harta riba akan menambah hartanya, padahal asumsi tersebut tidak benar (menurut Allah). Riba dalam ayat ini berupa pemberian sesuatu pada orang lain yang tidak didasarkan dengan keikhlasan.
Tahap kedua, adalah isyarat keharaman riba melalui kecaman praktik riba ditunjukkan pada surat an-Nisa’ ayat 160-161. Ayat tersebut termasuk ayat madaniyyah. Pada ayat ini, Allah memberikan cerita orang-orang yahudi yang telah mengambil riba dari orang lain dan memakannya dengan keyakinan, bahwa riba dihalalkan bagi mereka, padahal Allah telah mengharamkannya. Ayat ini pun belum secara tegas memberikan larangan riba kepada orang Islam, melainkan masih bersifat pemberitaan gambaran orang-orang Yahudi.
Tahap ketiga, mengharamkan satu bentuk riba yang berlipat ganda dengan tegas temuat dalam surat al-imron ayat 130. Dari ayat ini terlihat dengan jelas tentang pengharaman riba, namun masih bersifat parsial, belum secara menyeluruh. Sebab pengharaman riba yang berlipat ganda (adh’afan mudha’afah) dan sangat memberatkan bagi si peminjam, disejajarkan dengan larangan shalat bagi orang yang sedang mabuk.
Tahap keempat, mengharamkan secara total dalam segala bentuk terdapat dalam surat Al-Baqoroh ayat 275, 276, 277, 278, 279. Dalam ayat 275 Allah menyatakan bahwa jual beli sangat beda dengan riba, ayat 276 Allah memusnahkan riba, ayat 278 Allah memerintahkan untuk meninggalkan segala bentuk riba yang masih ada.
Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada al-Quran, melainkan juga dalam al-hadits. Adapun hadits yang mengharamkan riba antara lain Hadits riwayat Jabir Ra. Dalam kitab Shohih Muslim:
لعن رسول الله صل الله عليه وسلم اكل الربا ومؤكله وكاتبه وساهديه وقال هم سواء
Rasulullah SAW. melaknat pemakan riba (yang mengambil riba) yang memakan riba, yang menjadi pencatat dan dua orang yang menjadi saksi dan dan beliau bersabda mereka semua sama.
Macam-Macam Riba
Dalam pembagian macam-macam riba ulama’ berbeda pendapat. Secara garis besar, riba terbagi menjadi dua bagian:
1. Riba hutang piutang, adapun yang termasuk dalam riba hutang piutang adalah:
- Riba qard yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang.
- Riba jahiliyah adalah hutang di bayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang di tetapkan.
2. Riba jual beli, adapun yang termasuk di dalamnya adalah:
- Riba fadl yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedang barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
- Riba nasi’ah adalah penangguhan pembayaran atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya, riba nasiaah ini muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat itu dan yang diserahkan kemudian.
F. Gambaran singkat data penelitian (Bab III)
Biografi dan Kehidupan Sosial Muhammad Syahrur
Muhammad Syahrur lahir di Damaskus, Syria, pada 11 April 1938. Syria (tempat di mana Syahrur dilahirkan) adalah sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Syria tercatat sebagai negara yang memiliki pengaruh luar biasa dalam pemikiran di dunia Islam, baik sosial, politik, budaya, dan intelektual. Penduduk Syria secara umum sangat toleran dan jauh lebih terlatih untuk hidup berdampingan dengan agama lain jika dibandingkan dengan negara muslim lainnya. Di Suriah jumlah umat Islam mencapai 80% sedangkan 20% terdiri dari Kristen, Yahudi dan aliran-aliran keagamaan lainnya seperti Syi‘ah. Adapun mazhab yang berkembang luas adalah mazhab Hanafi sekalipun mazhab lain juga tetap dipergunakan.
Syria juga pernah menghadapi problema modernitas, khususnya benturan keagamaan dengan gerakan modernisasi Barat. Problema ini muncul karena di samping Syria pernah diinvasi oleh Perancis, juga dampak dari gerakan modernisasi Turki, di mana Syria pernah menjadi wilayah dari dinasti Usmaniyyah (di Turki).
Dari situlah kemudian akan terlihat bahwa iklim berintelektual di Syria, setingkat lebih “maju” ketimbang negara-negara Muslim Arab lainnya yang masih memberlakukan hukum Islam positif secara kaku, terutama dalam hal kebebasan berekspresi. Angin segar bagi tumbuhnya suatu imperium pemikiran di negara Syria, lebih nyata dan menjanjikan ketimbang di negara-negara Arab lainnya. Sehingga lantaran itu pulalah mengapa orang-orang liberal seperti Syahrur dapat dengan leluasa bernafas di Syria setelah menelorkan ide-ide kreatifnya yang bagi banyak negara Muslim menolaknya
Sejak muda, Syahrur terkenal dengan anak yang cerdas. Sekolah dasar dan menengahnya ditempuh di kota kelahirannya pada lembaga pendidikan `Abd al-Rahman al-Kawakibi, hingga tamat pada 1957. Pada 1957 itu juga ia memperoleh beasiswa pemerintah untuk studi ilmu teknik di Moskow, dan berhasil menyelesaikannya pada 1964. Tahun berikutnya, ia bekerja sebagai dosen pada fakultas teknik Universitas Damaskus. Kemudian oleh pihak universitas, ia dikirim ke Irlandia untuk studi `pascasarjana` dalam spesialisasi mekanika tanah dan teknik fondasi pada Ireland National University. Gelar Master of Science diperoleh pada 1969, dan gelar Doktor pada 1972. Syahrur, hingga sekarang, masih tetap tercatat sebagai tenaga edukatif pada fakultas teknik sipil Universitas Damaskus tersebut dalam bidang mekanika tanah dan geologi.
Syahrur yang berlatar belakang teknik, ternyata meminati juga secara mendalam masalah-masalah keIslaman. Hal ini sebagaimana diwujudkannya dalam al-Kitab wa al-Qur`an. Buku inilah sebenarnya yang telah membuat namanya melejit dalam kancah dunia pemikiran. Renungan dalam buku ini ternyata tidak tanggung-tanggung, sebab ditulisnya waktu yang cukup lama, 20 tahun. Secara garis besar, karya-karya Syahrur dalam bidang keIslaman (semuanya diterbitkan oleh Al-Ahali li al-Tiba`ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi`, Damaskus): Al-Kitab wa al-Qur`an: Qira`ah Mu`ashirah (1990) [19], Dirasah Islamiyyah Mu`ashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama` (1994), Al- Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam (1996), dan Masyru` Mitsaq al-`Amal al- Islami (1999).
Konsep Riba Muhammad Syahrur
Pandangan Muhammad Syahrur tentang riba tidak dapat dipisahkan dengan teori batas (Nadzariyyah al-Hudud) yang berkenaan dengan hukum islam secara umum. Teori batas riba Muhammad Syahrur termuat pada posisi teori batas yang keenam yaitu “batas maksimal (positif) tidak boleh di lewati dan batas bawah (negatif) boleh di lewati”. Batasan ini berlaku pada hubungan peralihan harta kekayaan antar manusia. Dua batas ini terdiri dari batas maksimal yang tidak boleh dilanggar, yaitu riba dan batas minimal ini berupa zakat yang dapat dilampaui. Bentuk melampaui batas minimal ini berupa berbagai macam sedekah. Dua batas ini terdapat pada dua daerah yaitu daerah positif dan daerah negatif, dan titik tengah pada posisi netral yang dilambangkan dengan nol. Pada dataran aplikasi, batas maksimal positif berupa riba, batas netral berupa pinjaman tanpa bunga dan pada batas minimal negatif berupa zakat dan sedekah.
Dari ayat-ayat Allah yang berkaitan antara riba, zakat dan sedekah Muhammad Syahrur mengelompokkan kondisi seseorang dari bentuk pengalihan harta:
1. Kelompok yang tidak memiliki kemampuan melakukan transaksi bentuk apapun, mereka berhak menerima harta dalam bentuk pemberian, bukan pinjaman. Yang termasuk dalam kategori ini adalah golongan yang wajib menerima zakat yaitu orang yang tidak mampu melakukan transaksi ekonomi apapun, atau tidak mampu melunasi bentuk pinjaman harta selunak apapun dalam sistem perekonomian (fakir). Untuk kelompok ini berlaku ayat Allah “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah”. Allah juga mengaitkan antara riba dan zakat dalam firman Allah “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan “sampai ayat” dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah”.
2. Kelompok orang-orang yang mampu mengembalikan pinjaman tapi tanpa bunga sama sekali. Bentuk ini berupa pinjaman yang bernilai netral atau disebut dengan pinajamn qardul hasan yaitu pinjamn tanpa bunga. Kondisi ini dijelaskan dalam surat al-Baqoroh: 279, model pengalihan harta ini merupakan batas maksimal yang boleh diterapkan pada kelompok kedua ini. Oleh karenanya, Allah menganjurkanpemberian bukan pinjaman, yaitu dengan firmannya dalam surat al-Baqoroh: 280.
3. Kelompok manusia yang tidak berhak menerima pemberlakuan ayat-ayat sedekah, dan zakat. Mereka adalah kelompok manusia yang memperoleh penghasilan besar dari mata pencahariannya, seperti konglomerat di sektor perniagaan, industri, agrobisnis termasuk kategori ini adalah; mereka yang menduduki posisi penting dalam jasa transportasi, komunikasi, perusahaan pertambangan, dan bentuk-bentuk usaha yang lainnya. Dan untuk kelompok ini berlaku posisi batas maksimal pengambilan keuntungan bunga sebagaimana firman Allah surat Ali Imron: 130.
Dasar Pemikiran Muhammad Syahrur
Syahrur, dalam menelorkan ide-idenya, khususnya terkait dengan masalah keIslaman, tidak lepas dari teori Batas. Ide-idenya muncul setelah secara sadar mengamati perkembangan dalam tradisi ilmu-ilmu keIslaman kontemporer. Menurutnya, pemikiran Islam kontemporer memiliki problema-problema berikut:
1. Tidak adanya metode penelitian ilmiah yang obyektif.
2. Kajian-kajian keIslaman yang ada seringkali bertolak dari perspektif-perspektif lama yang dianggap sudah mapan, yang terperangkap dalam kungkungan subyektifitas,
3. Tidak dimanfaatkannya filsafat humaniora.
4. Tidak adanya epistemologi Islam yang valid.
5. Produk-produk fiqh yang ada sekarang sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan modernitas.
Syahrur juga mengatakan, kajian-kajian keIslaman yang ada sering melupakan dimensi universalitasnya (salih li kull zaman wa makan). Karena itulah Syahrur sangat bersikeras bahwa tiap-tiap generasi mampu memberikan interpretasi al-Qur`an yang memancar dari realitas yang muncul dan sesuai dengan kondisi di mana mereka hidup. Hasil interpretasi al-Qur`an generasi awal tidaklah mengikat masyarakat Muslim modern.
Syahrur mengatakan: sesungguhnya sumber pengetahuan manusia adalah alam materi yang berada di luar eksistensi manusia itu sendiri. Dalam pandangan Syahrur adalah kebenaran yang sesuai dengan realitas empirik yang berada di luar eksistensi manusia, Maka pengetahuan manusia tidaklah independen sebagaimana yang ada dalam persepsi pikiran yang tidak sesuai dengan realitas. Dengan landasan ini pula, maka kajian filsafat Islam kontemporer harus didasarkan pada pengetahuan rasional ilmiah sebagai hasil dari cerapan inderawi manusia dalam rangka memperoleh pengetahuan teoritis murni (al-ma`rifah al-nadzriyyah al-mujarradah).
Sketsa pengetahuan di atas menunjukkan bahwa Syahrur sebagai seorang saintis, tipikal keilmuannya yang mengedepankan sifat-sifat empirik, rasional, dan ilmiah sangat kental mewarnai landasan metodologisnya. Hal ini pulalah yang kemudian menjadi pijakan teoretiknya dalam mengkaji teks suci al-Qur`an. Al-Quran senantiasa mengandung karakter pembacaan kontemporer” [sifat al-Qira’ah al-Mu’asirah] (selalu ditafsirkan sesuai dengan perkembangan modern).
Shahrur menemukan asumsi dasarnya yaitu bahwa dalam bahasa Arab tidak ditemukan adanya sinonim (muradif). Dari situlah kemudian Syahrur membuat pembatasan kaedah dasar-dasar metodologi linguistiknya, yaitu:
1. Dalam bahasa tidak ada sinonim,
2. Kata adalah ekspresi dari makna
3. Yang paling penting dari bahasa adalah makna.
4. Bahasa apa pun tidak akan dapat dipahami bila tidak ditemukan adanya kesesuaian bahasa itu dengan rasio dan realitas obyektif.
Syahrur menggunakan pendekatan semantik dengan analisa paradigmatis dan sintagmatis. Semantik adalah ilmu yang berhubungan dengan fenomena. Adapun analisa paradigmatis yang dimaksud ialah suatu analisa pencarian dan pemahaman terhadap sebuah konsep (makna) suatu simbol (kata) dengan cara mengaitkannya dengan konsep-konsep dari simbol-simbol lain yang mendekati dan yang berlawanan. Sedangkan analisa sintagmatis adalah analisa yang bertujuan untuk menentukan mana makna yang paling tepat di antara makna-makna yang ada, di mana setiap kata pasti dipengaruhi oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya.
G. Analisa Data (Bab IV)
Konsep Riba Muhammad Syahrur
Pemaparan bab ke tiga penulis menyimpulkan bahwa Muhammad Syahrur membagi riba dalam dua bentuk yakni yang berkaitan dengan pinjam meminjam dan jual beli. Menurut hemat penulis, Muhammad Syahrur memandang riba sama dengan bunga bank dan beliau ini menghalalkan bunga bank seperti yang di tuangkan dalam mekanisme perbankan modern yakni:
1. Mekanisme pinjaman tidak boleh diterapkan pada kelompok yang berhak menerima zakat dan sedekah, adapun pengalihan harta kepada kelompok tersebut adalah berupa pemberian tanpa syarat apapun.
2. Dalam kondisi tertentu mekanisme maksimal yang boleh diterapkan kepada kelompok yang berhak menerima sedekah adalah pinjaman tanpa bunga (qardul hasan).
3. Dalam sistem perbankan islam tidak diperkenankan pembebanan bunga melebihi dua kali lipat (100%) dari modal pinjaman untuk jangka waktu yang tak terbatas. Bunga pinjaman 100% merupakan batas maksimal yang boleh diterapkan dalam sistem perbankan islam.
Dari alasan tersebut penulis menyimpulkan bahwa ketika fuqoro’, masakin dipungut riba atau bunga mereka akan merasa teraniaya. Karena mereka meminjam digunakan untuk konsumtif semata atau pemenuhan hidup yang ia butuhkan, jadi Syahrur menekankan bagi fuqoro’, masakin, atau yang berhak menerima zakat dan sedekah tidak boleh di pungut riba melainkan pinjaman dengan mengembalikan pokok pinjamannya saja, dan bahkan ketika benar-benar tidak mampu untuk mengembalikan pokok pinjamannya mereka berhak untuk menerima pemberian atau hibah dengan tanpa syarat. Untuk mekanisme ketiga penulis menyimpulkan pinjaman tersebut berupa pinjaman produktif. Karena pada pinjaman produktif tersebut tidak ada yang teraniaya akan tetapi menguntungkan kedua belah pihak karena pada dasarnya pihak yang meminjamkan/perbankan sebagai pemilik modal yang tidak menjalankan usaha dan peminjam merupakan orang yang mempunyai skill untuk menjalankan usaha dan tidak memiliki modal untuk tersebut.
Dari pemaparan di atas penulis dapat menyimpulkan bahawa konsep riba Muhammad Syahrur adalah; ketika pinjaman tersebut untuk kepentingan produktif, Syahrur memperbolehkan pemungutan tambahan/riba dengan batas maksimal pemungutan adalah 100% dari pokok pinjaman. Dan ketika pinjaman itu untuk konsumtif, Syahrur tidak memperbolehkan pemungutan tambahan/riba.
Dasar Pemikiran Muhammad Syahrur
Muhammad Syahrur menggali hukum dari al-qur’an dengan cara yang ia miliki yaitu dengan memakai teori batas (nadzariyah al-hudud). Teori tersebut bersandar pada pengetahuan rasional yang bermula dari tahapan pengetahuan objek konkrit melalui indera pendengaran dan penglihatan, kemudian berlanjut pada pengetahuan teoritis murni. Karena pada dasarnya syahrur merupakan ahli di bidang teknik, sehingga beliau beranggapan bahwa semesta bersifat material dan akal manusia mampu mengetahui rahasia-rahasianya tanpa batasan yang mengekang. Pengetahuan manusia memiliki karakter untuk berkembang secara terus-menerus sesuai dengan level peradaban yang dicapai ilmu pengetahuan pada setiap generasi.
Karena itulah Syahrur sangat bersikeras bahwa tiap-tiap generasi mampu memberikan interpretasi al-Qur`an yang memancar dari realitas yang muncul dan sesuai dengan kondisi di mana mereka hidup. Hasil interpretasi al-Qur`an generasi awal dirasa Muhammad Syahrur tidak dapat mengikat masyarakat Muslim modern. Bahkan lebih jauh, kesalahan utama fiqh Islam dan tafsir al-Qur`an sekarang ini bersumber dari kesalahan metodologi yang tidak memperhatikan karakteristik dan fleksibilitas pengertian teks-teks Kitab Suci, sehingga membebani punggung umat dan tidak sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta situasi dan kondisi abad ke-20.
Syahrur juga menganggap kebenaran itu adalah segala sesuatu yang sesuai dengan realitas empirik yang berada di luar eksistensi manusia, maka pengetahuan manusia tidaklah independen sebagaimana yang ada dalam persepsi pikiran yang tidak sesuai dengan realitas. Maka kajian filsafat Islam kontemporer harus didasarkan pada pengetahuan rasional ilmiah sebagai hasil dari cerapan inderawi manusia dalam rangka memperoleh pengetahuan teoritis murni (al-ma`rifah al-nadzriyyah al-mujarradah).
Sketsa pengetahuan di atas menunjukkan bahwa Syahrur sebagai seorang saintis, tipikal keilmuannya yang mengedepankan sifat-sifat empirik, rasional, dan ilmiah sangat kental mewarnai landasan metodologisnya. Hal ini pulalah yang kemudian menjadi pijakan teoretiknya dalam mengkaji teks suci al-Qur`an.
Metode dan pendekatan yang digunakan Syahrur dalam mengkaji al-Qur`an secara umum didasarkan atas teori-teori yang terdapat dalam filsafat bahasa (linguistik). Syahrur menemukan asumsi dasar bahwa dalam bahasa Arab tidak ditemukan adanya sinonim (muradif).
Dari situ penulis dapat simpulkan bahwa dasar pemikiran Syahrur dalam menggali hukum yang sudah ada dalam al-Qur’an berbeda dengan ulama’ pada umumnya. Ulama pada umumnya yang di gunakan dasar suatu hukum dengan menggunakan al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, maslakhah dan lain sebagainya sesuai urutan yang iya yakini tapi al-Qur’an dan sunahlah yang paling urgen. Tapi Syahrur hanya berpokok pada al-qur’an saja, memang benar Syahrur juga menggunakan sunnah tapi hanya sekedar pembanding saja, dan beliau benar-benar menolak adanya ijma’, qiyas dan lain sebagainya. Adapun cara yang beliau pakai adalah teori atau metode pemahaman linguistik, semantik dengan pendekatan analisa paradigmatis dan sintagmatis.
H. Hasil yang didapat (Bab V)
1. Muhammad Syahrur memperbolehkan riba pada jenis pinjaman produktif dengan batas maksimal 100% dari pokok pinjaman, dan tidak memperbolehkan riba pada jenis pinjaman konsumtif. Jadi pada dasarnya Muhammad Syahrur secara kasat mata memperbolehkan perilaku riba tidak seperti yang tertuang pada konsep riba dalam hukum islam.
2. Dasar pemikiran Muhammad Syahrur adalah al-qur’an, dengan metode pemahaman linguistik, semantik dengan pendekatan analisa paradigmatis dan sintagmatis. Dan Muhammad Syahrur menolak adanya ijma’, qiyas seperti ulama islam salafi.

Tidak ada komentar: