Motto

"MEMBACA UNTUK MENULIS, MENULIS UNTUK DIBACA"

Jumat, 29 Juni 2012


FIQIH LINGKUNGAN (FIQHUL BI’AH)


oleh:
Mushlih Candrakusuma


PENDAHULUAN
Hukum dalam masyarakat manapun, dibuat dengan tujuan untuk mengatur dan mengendalikan lingkungan kehidupan dalam masyarakat. Ia merupakan sistem yang ditegakan untuk melindungungi hak individu maupun masyarakat secara luas. Di setiap tempat, sistem hukum tersebut memiliki sifat, karakter dan ruang lingkup sendiri. Dalam kaitan ini, Islam sebagai agama yang ajarannya universal, dalam arti mencangkup semua manusia di dunia dan juga memiliki sistem hukum sendiri yang dikenal dengan Fiqih.
Selama ini Fiqih dipahami sebagai bentuk kewajiban yang berhubungan dengan Allah (ibadah) dan kewajiban yang berhubungan dengan manusia dalam rangka menjamin ketertiban dalam masyarakat (muamalah). Disadari ataupun tidak, pemahaman umat Islam seperti ini telah meninggalkan salah satu aspek yang juga penting dalam rangka jaminan ketertiban dalam masyarakat, yaitu lingkungan. Oleh karena itu, Islam sebagai agama yang universal harus dipahami secara lebih luas, bukan hanya hubungan manusia dengan Allah ataupun dengan sesama manusia, tetapi juga dengan alam.


PEMBAHASAN
A. Latar Belakang dan Pengertian Fiqh Lingkungan
Bencana terjadi dimana-mana. Banjir, tanah longsor, kekeringan dan kebakaran hutan menjadi berita yang telah akrab di telinga kita. Alam telah mati, sehingga tidak mampu lagi memberikan kesejukan dan perlindungan buat manusia. Alam yang selama ini selalu menjadi sahabat manusia, berubah menjadi musuh yang paling menakutkan. Alam murka kepada manusia yang telah merusaknya. Ketika hujan turun, banjir dan tanah longsor terjadi di mana-mana, sebab tidak ada lagi pepohonan yang dapat menahan laju air. Pada saat musim kemarau, terjadi kekeringan di mana-mana. Mungkin inilah balasan yang harus diterima oleh manusia akibat ulahnya atas lingkungan yang mengabaikan norma dan etika.
Pada hakikatnya alam semesta beserta isinya bagaimanapun keadaannya, adalah fasilitas untuk mencapai kesejahteraan umat manusia. Memang itulah kodratnya, alam diciptakan untuk selalu memberikan yang terbaik buat kelangsungan hidup manusia. Darinya manusia memperoleh makan, minum, perlindungan, keselamatan dan mata pencaharian hidup. Firman Allah SWT:
  •    •             ••            
Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.
Karena itu, sungguh beruntunglah negara yang memiliki wilayah hamparan luas hijau terbentang, berbagai kekayaan alam akan muncul di dalamnya. Sebagai kompensasinya, manusia diminta untuk merawat dan melestarikannya. Manusia hanya diminta menjaganya agar apa yang menjadi kekayaan alam tersebut tetap lestari dan terus dapat dimikmati oleh manusia, caranya dengan memenuhi kebutuhan-krbutuhan yang diperlukan alam serta menjauhkan dari hal-hal yang mengancam kepunahan alam serta isinya. Manusia hanya diminta untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan-Nya, sehingga alam yang telah diberikan menjadi lestari dan dapat dinikmati secara terus-menerus oleh umat manusia, bahkan terus ditambah oleh Allah SWT.
         •   
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
Namun yang terjadi malah sebaliknya, manusia tidak mau mensyukuri nikmat yang telah diberikan. Dengan rakus manusia hanya mengambil untungnya saja, mengeksploitasi alam secara besar-besaran. Sementara kewajiban tidak pernah dikerjakan. Akhirnya Allah SWT memenuhi kepada orang-orang yang tidak mau bersyukur. Banjir melanda, longsor menerjang, badai menyapa, hama mengganas dan kebakaran hutan terus terjadi.
Krisis lingkungan adalah refleksi krisis spiritual paling dalam umat manusia. Karena menangnya humanisme yang memutlakkan si manusia bumi, alam dan lingkungan di perkosa atas nama hak-hak manusia. Baginya jika pandangan tardisional Islam tentang alam dan lingkungan tidak ditegaskan kembali, krisis mengerikan ini tidak mungkin teratasi.
Islam merupakan agama (jalan hidup) yang sangat memperhatikan tentang lingkungan dan keberlanjutan kehidupan di dunia. Banyak ayat Al-qur’an dan hadits yang menjelaskan, menganjurkan bahkan mewajibkan setiap manusia untuk menjaga kelangsungan kehidupannya dan kehidupan makhluk lain dibumi. Konsep yang berkaitan dengan penyelamatan dan konservasi lingkungan (alam) menyatu tak terpisahkan dengan konsep keesaan Tuhan (tauhid), syariah, dan akhlak.
Dalam perspektif hukum Islam, pelestarian lingkungan dan tanggung jawab manusia terhadap alam sebenarnya sudah lama dibicarakan. Hanya saja, dalam berbagai literatur tafsir dan fikih, isu-isu tersebut dikupas secara generik dan terpisah-pisah, belum spesifik dan utuh. Ini bisa dimengerti karena konteks perkembangan struktur dan budaya masyarakat waktu itu belum menghadapi krisis lingkungan sebagaimana terjadi sekarang ini. Karenanya, penguatan peran hukum Islam dalam konteks persoalan-modern, semisal nasib bumi ke depan, menjadi hal yang niscaya, bahkan ia menjadi mata rantai dari sejarah perkembangan hukum Islam yang menyertai peradaban manusia. Upaya merumuskan fiqih lingkungan menjadi kian penting di tengah krisis ekologis secara sistematis yang diakibatkan oleh keserakahan, kecerobohan dan kesombongan manusia.
Fiqih lingkungan merupakan seperangkat aturan tentang perilaku ekologis masyarakat Muslim yang ditetapkan oleh yang berkompeten berdasarkan teks Syar’i dengan tujuan untuk mencapai kemashlahatan bersama dan melestarikan lingkungan. Dari pengertian ini terdapat tiga hal yang perlu dijabarkan lebih lanjut, yaitu:
1. Yang dimaksud dengan seperangkat aturan tentang perilaku ekologis masyarakat muslim adalah ketentuan peringkat hukum perilaku yang diklasifikasikan dalam kategori perilaku wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram (Al-Ahkamul Khamsah). Dengan demikian unsur pertama dalam fiqih lingkungan adalah ketetapan status hukum perilaku yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Rumusan status hukum tersebut didasarkan pada kepentingan manusia dan kepentingan perlindungan kelestarian alam lingkungan secara seimbang.
2. Yang dimaksud dengan ditetapkan oleh yang berkompeten adalah yang berwenang menetapkan fiqih lingkungan adalah hanya orang yang memenuhi persyaratan sebagai perumus fiqih lingkungan, yaitu mutahid lingkungan. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi oleh mujtahid lingkungan setidaknya meliputi empat hal, yaitu memiliki kemampuan memahami ayat-ayat dan hadits-hadits lingkungan, memiliki kemampuan metodologis menetapkan hukum Islam, memiliki pengetahuan yang memadai tentang persoalan lingkungan serta memiliki kemampuan kerja dan interdisipliner ekoreligi Islam.
3. Yang dimaksud dengan berdasarkan teks Syar’i adalah ketetapan fiqih lingkungan harus didasarkan pada dalil Al-Qur’an, Hadits dan ijtihad secara simultan sesuai dengan peluangnya masing-masing.
B. Urgensi Fiqih Lingkungan
Ketika krisis lingkungan yang semakin memburuk tidak mampu diatasi dengan seperangkat teknologi, sains dan hukum (undang-undang) sekuler, masyarakat dunia membutuhkan peran agama guna menumbuhkan kesadaran otentik dalam diri manusia, yaitu nilai-nilai agama. Artinya, pemahaman agama saat ini tidak lagi berkutat pada masalah-masalah spiritual, tetapi juga harus beranjak ke aspek-aspek nyata masyarakat pemeluknya dalam hal ini kepedulian terhadap lingkungan. Dengan nilai-nilai agama, manusia akan memiliki kecakapan mengatasi dan ketajaman membaca tanda-tanda zaman berikut kemampuan menciptakan seperangkat nilai untuk melestarikannya lewat hukum dan sejumlah peraturan.
Manusia hanya sebagai ciptaan yang tujuan penciptaannya adalah untuk beribadah dan menjadi pengatur di muka bumi. Dengan prinsip ibadah dan khalifah, seharusnya manusia mengelola alam dengan prinsip pengabdian dan pengaturan. Pengabdian berarti manusia mengelola alam dengan cara yang menunjukkan bakti kepada Allah SWT. Sedangkan pengaturan berarti mengelola lingkungan untuk kebutuhan dirinya dengan cara menjaga keawetan dan kelestarian kualitas alam. Alam sendiri pada dasarnya juga mempunyai perjanjian tersenderi dengan Allah. Al-Qur’an menyebutkan bahwa seluruh ciptaan yang ada di bumi dan di langit bertasbih kepada Allah, namun manusia tidak mengetahui tasbihnya.
Allah SWT telah mengamanahkan pada manusia tiga hal yang perlu dijaga supaya tidak termasuk orang yang fasik. Hal ini sebagaimana tertuang dalam firman Allah Qs. Al-Baqarah: 26-27 yang artinya kurang lebih: “…tetapi tidak ada yang Dia sesatkan dengan (perumpamaan) itu selain orang-orang fasik. (Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah (kufur akidah) dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan (kufur insaniyah/ijtima'iayah) dan berbuat kerusakan di bumi (kufur kauniyah/ekologi). Mereka itulah orang-orang yang rugi.” Tiga karakteristik manusia dalam ayat tersebut kemudian harus menjadi rambu-rambu bagi keislaman dan keimanan. Berdasarkan ayat di atas, terdapat tiga bentuk proses menuju keselamatan (Islam) dan keamanan (Iman) yang bisa diekspresikan. Pertama, mengakui ke-Esaan Allah. Kedua, menjalin hubungan yang baik dengan sesama manusia; dan Ketiga, menjalin hubungan yang seimbang dengan alam.
Imam Yusuf Qaradhawi, dalam kitabnya Ri’ayat al-Bi’ah fi Syariat al-Islam, memasukkan pemeliharaan lingkungan (hifdz al-‘alam) ke dalam bagian maqashid al-syari’ah (tujuan syariat). Dalam hal ini, ada dua hal yang harus kita lakukan dalam menggali dasar-dasar fikih lingkungan. Pertama, menjelaskan hikmah perennial Islam tentang tatanan dan struktur bumi dan alam dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia. Kedua, menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran bumi yang berperspektif teologis atau membangun teologi yang berbasis kesadaran dan kearifan bumi.
Dengan demikian, tujuan diproyeksikannya maqashid al-syari’ah adalah untuk menjaga kekayaan bumi, menjaga sumber-sumbernya, menumbuhkembangkan hasil dan produk-produknya, menyadarkan akibat dari pengrusakan kawasan bumi, serta pola pemerataannya pada seluruh lapisan umat manusia. Setiap tindakan yang menafikan tujuan-tujuan tersebut sama halnya menghilangkan tujuan-tujuan syariat Islam dan menodai prinsip-prinsip kepentingan yang terkandung di dalamnya.
Jika selama ini ada lima komponen hidup yang harus dipelihara oleh seluruh manusia yakni hifdzul nafs (menjaga jiwa), hifdzul aql (menjaga akal), hifdzul maal (menjaga harta), hifdzul nasl (menjaga keturunan) dan hifdzud diin (menjaga agama). Saya ini menggali bahwa termasuk sekarang ini menjadi masalah besar dan harus diberi tempat perkembangannya yaitu kerusakan lingkungan hidup. Jadi kalau kita dalam kaidah mengatakan perlu ada hifdzul nafs atau hifdzud diin, maka sekarang ini patut kita masukkan ke dasar agama adalah hifdzul bi’ah (memelihara lingkungan hidup). Itu kepentingan kehidupan manusia. Seluruh manusia berkepentingan terhadap kebersihan lingkungan, terhadap keselamatan lingkungan.
C. Rumusan dan Pengembangan Fiqih Lingkungan
Merumuskan sebuah fiqh lingkungan (fiqh al-bi’ah) menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Yaitu, sebuah fiqh yang menjelaskan sebuah aturan tentang perilaku ekologis masyarakat muslim berdasarkan teks syar’i dengan tujuan mencapai kemaslahatan dan melestarikan lingkungan.
Dalam rangka menyusun fiqh lingkungan ini (fiqh al-bi’ah), ada beberapa nilai yang harus dipedomani sebagai landasan praktis dalam merumuskan dan mengembangkan fikih lingkungan, yaitu:
1. Rekonstruksi makna khalifah. Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa menjadi khalifah di muka bumi ini tidak untuk melakukan perusakan dan pertumpahan darah. Tetapi untuk membangun kehidupan yang damai, sejahtera, dan penuh keadilan. Dengan demikian, manusia yang melakukan kerusakan di muka bumi ini secara otomatis mencoreng atribut manusia sebagai khalifah (QS. al-Baqarah: 30). Karena, walaupun alam diciptakan untuk kepentingan manusia (QS. Luqman: 20), tetapi tidak diperkenankan menggunakannya secara semena-mena. Sehingga, perusakan terhadap alam merupakan bentuk dari pengingkaran terhadap ayat-ayat (keagungan) Allah, dan akan dijauhkan dari rahmat-Nya (QS. al-A’raf: 56). Karena itulah, pemahaman bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi ini bebas melakukan apa saja terhadap lingkungan sekitarnya sungguh tidak memiliki sandaran teologisnya. Justru, segala bentuk eksploitasi dan perusakan terhadap alam merupakan pelanggaran.
2. Ekologi sebagai doktrin ajaran. Artinya, menempatkan wacana lingkungan bukan pada cabang (furu’), tetapi termasuk doktrin utama (ushul) ajaran Islam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi dalam Ri’ayah al-Bi’ah fiy Syari’ah al-Islam, bahwa memelihara lingkungan sama halnya dengan menjaga lima tujuan dasar Islam (maqashid al-syari’ah). Sebab, kelima tujuan dasar tersebut bisa terejawantah jika lingkungan dan alam semesta mendukungnya. Karena itu, memelihara lingkungan sama hukumnya dengan maqashid al-syari’ah.
3. Tidak sempurna iman seseorang jika tidak peduli lingkungan. Keberimanan seseorang tidak hanya diukur dari banyaknya ritual di tempat ibadah. Tapi, juga menjaga dan memelihara lingkungan merupakan hal yang sangat fundamental dalam kesempurnaan iman seseorang. Nabi bersabda bahwa kebersihan adalah bagian dari iman. Hadits tersebut menunjukkan bahwa kebersihan sebagai salah satu elemen dari pemeriharaan lingkungan (ri’ayah al-bi’ah) merupakan bagian dari iman. Apalagi, dalam tinjauan qiyas aulawi, menjaga lingkungan secara keseluruhan, sungguh benar-benar yang sangat terpuji di hadapan Allah.
4. Segala tindakan yang merusak keseimbangan dan kelestarian bumi dan alam pada dasarnya merupakan pelanggaran agama dan berdosa. Allah SWT berfirman:
        •  •      
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
Ungkapan janganlah berbuat kerusakan di muka bumi sesudah direformasi (wa la tufsidu fii al-ardl ba’da ishlahiha) mengandung makna ganda. (1) larangan merusak bumi setelah perbaikan (ishlah), yaitu saat bumi ini diciptakan Allah SWT. Makna ini menunjukkan tugas manusia untuk melindungi bumi itu yang sudah merupakan tempat yang baik bagi hidup manusia. Jadi, larangan merusak bumi berkaitan dengan usaha pelestarian lingkungan hidup yang sehat dan alami. (2), larangan membuat kerusakan di bumi setelah terjadi perbaikan oleh sesama manusia. Hal ini bersangkutan dengan tugas reformasi aktif manusia untuk berusaha menciptakan sesuatu yang baru, yang baik (shalih) dan membawa kebaikan (mashlahah) untuk manusia.
5. Perusak lingkungan adalah kafir ekologis (kufr al-bi’ah). Di antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah adanya jagad raya (alam semesta) ini. Karena itulah, merusak lingkungan sama halnya dengan ingkar (kafir) terhadap kebesaran Allah. Sebagaimana Firman Allah:
                 • 
Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu Karena mereka akan masuk neraka.
Ayat ini menerangkan kepada kita bahwa memahami alam secara sia-sia merupakan pandangan orang-orang kafir. Apalagi, ia sampai melakukan perusakan dan pemerkosaan terhadap alam. Dan, kata kafir tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang tidak percaya kepada Allah, tetapi juga ingkar terhadap seluruh nikmat yang diberikanNya kepada manusia, termasuk adanya alam semesta ini.
6. Kita perlu memperjuangkan politik hijau (green politic), sebuah gerakan mendampingi pembangunan agar berperspektif ekologis. Kebijakan-kebijakan politik yang anti-ekologi diarahkan menuju kebijakan politik yang sadar lingkungan (ecological politic). Hal ini penting karena kerusakan alam yang sedemikian parah tidak mungkin hanya diselesaikan melalui pendekatan agama. Akan tetapi, perlu pendekatan yang komprehensif. Mulai dari agama, ekonomi, politik, budaya, dan sosial bersatu padu menangani krisis ekologis ini. Penguasa punya kewajiban menjaga dan melindungi hak-hak warganya dan aset-aset alam yang dimiliknya, melalui serangkaian kebijakan berorientasi pada kepentingan bersama.


DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Mujiyono. Epistemologi Syara’: Mencari Format Baru Fiqih Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Al-Qur’an.
Fanani, Muhyar. Metode Study Islam: Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara Pandang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
http://id.shvoong.com/humanities/1805149-merintis-fiqih-lingkungan-hidup/#ixzz1eythm72o.
http://immunnes.blogspot.com/2006/12/sabtu-16-desember-2006-www.html.
http://moozes.multiply.com/journal/item/48/Fiqh_Lingkungan.
http://sekedarcoretankecil.blogspot.com/2008/06/prof-kh-ali-yafie-menjaga-alam-wajib.
http://www.islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=216.
Shihab, Quraish. Membumukan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1996.
Supriyadi, Dedi. Fiqih Bernuansa Tasawauf Al-Ghazali: Perpaduan Antara Syari’at dan Hakikat. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Yazid, Abu. Fiqh Realita: Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
PENGORGANISASIAN DAN PENGONTROLAN PEMASARAN


oleh:
Mushlih Candrakusuma


PENDAHULUAN

Pemasaran (Marketing) adalah proses penyusunan komunikasi terpadu yang bertujuan untuk memberikan informasi mengenai barang atau jasa dalam kaitannya dengan memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia. Pemasaran merupakan fungsi sosial yang bertujuan untuk mencipta, mengembangkan dan mengenalkan kepada pelanggan dalam suatu aktivitas ekonomi atau pertukaran barang, mengenali dan memenuhi kehendak pengguna di dalam mengenalkan keuntungan aktivitas yang dijalankan dari produk yang diperkenalkan.
Pemasaran dimulai dengan pemenuhan kebutuhan manusia yang kemudian bertumbuh menjadi keinginan manusia. Proses dalam pemenuhan kebutuhan dan keinginan manusia inilah yang menjadi konsep pemasaran. Mulai dari pemenuhan produk (product), penetapan harga (price), pengiriman barang (place), dan mempromosikan barang (promotion).
Dalam pemasaran sendiri diperlukan suatu analisa agar rencana yang akan dijalankan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan pemasaran, yang meliputi bagaimana pengorganisasian terhadap pemasaran serta bagaimana melakukan pengontrolan terhadap pemasaran tersebut.


PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Konsepsi Pemasaran
Pemasaran adalah suatu proses sosial dan managerial kegiatan manusia yang diarahkan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan melalui proses pertukaran. Tujuan pemasaran adalah untuk memahami keinginan dan kebutuhan konsumen agar produk atau jasa sesuai bagi konsumen sehingga produk atau jasa tersebut dapat terjual dengan sendirinya.
Konsepsi inti pemasaran mencangkup kebutuhan, keinginan, permintaan, produk dan jasa. Kebutuhan (needs) merupakan bawaan dasar biologis setiap manusia dan tidak dapat direkayasa oleh pemasar. Keinginan (want) adalah hasrat akan pemuas tertentu dari kebutuhan yang lebih mendalam. Permintaan (demands) merupakan keinginan akan produk spesifik yang didukung dengan kemampuan dan kesediaan untuk membelinya. Produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan. Sedang yang terakhir adalah jasa, yaitu setiap kegiatan yang dapat ditawarkan yang pada dasarnya tidak berwujud.

B. Pengorganisasian dan Pengontrolan terhadap Pemasaran
Dalam suatu usaha untuk mencapai tujuan dari pemasaran, maka diperlukan manajemen pemasaran. Manajemen pemasaran dapat digunakan sebagai alat bantu agar proses pertukaran antara pembeli dan penjual dapat dikelola dengan baik dan profesional untuk meningkatkan pendapatan penjual dan kepuasan pada pihak pembeli. Serta dapat mempengaruhi tingkat permintaan, pemilihan waktu dan sifat permintaan sedemikian rupa sehingga pengorganisasian dapat mencapai tujuan.
Manajemen pemasaran dapat didefinisikan sebagai analisis, perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian atas program yang dirancang untuk menciptakan, membentuk dan mempertahankan pertukaran yang menguntungkan dengan pembeli sasaran untuk mencapai tujuan-tujuan organisasional.
Pengorganisasian Pemasaran
Dalam dunia bisnis yang penuh dengan ketidakpastian diperlukan perhatian dari pihak manajemen perusahaan untuk senantiasa mengikuti perkembangan usahanya agar dapat diimplementasikan secara efisien dan efektif, perlu dirancang suatu strategi yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sehingga tujuan semula dapat tercapai. Hal ini akan dapat tercapai apabila dilaksanakan dengan pengorganisasian.
Salah satu strategi pengorganisasian untuk meningkatkan mutu dan kualitas suatu entitas usaha antara lain dengan menggunakan analisis situasional. Analisis situasional adalah unsur dasar dari rencana pemasaran dan digunakan untuk membuat proyeksi dari kegiatan pemasaran yang diusulkan.
Situasional analysis mempelajari kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) yang berpengaruh pada organisasi, dinamakan juga SWOT Analysis.
1. Kekuatan
Mencakup marketing mix yang dikenal dengan prinsip 4 P antara lain:
a. Aspek product yaitu aspek internal perusahaan yang melibatkan hampir semua kegiatan perusahaan mencakup produk dan pengembangannya.
b. Aspek pricing yaitu penentuan harga suatu produk, yang dapat dilakukan dengan cara penentuan harga, fee, biaya-biaya administrasi lainnya.
c. Aspek place yaitu yang berhubungan dengan penentuan letak perusahaan, seiring dengan perkembangan teknologi maju, sistem penyampaian produk turut berkembang.
d. Aspek promotion yaitu periklanan, kehumasan, promosi penjualan, dan personal selling.
2. Kelemahan
a. Munculnya perusahaan-perusahaan sejenis.
b. Lemahnya strategi promosi dapat mengakibatkan menurunnya pelanggan yang masuk.
3. Peluang
a. kepuasan pelanggan, informasi pelanggan mengenai kepuasan mereka atas layanan dan produk perusahaan menjadi hal penting bagi manajemen.
b. Informasi mengenai pesaing, yang bermanfaat dalam rangka mengetahui data mengenai kualitas produk, pemasaran, latar belakang personalia, dan karakteristik proyek-proyek yang ditangani.
c. Pelanggan setia.
d. Pengembangan produk untuk mengikuti selera pasar.
4. Ancaman
a. Kenaikan pajak, peraturan pemerintah yang berdampak pada meningkatnya biaya perusahaan.
b. Lemahnya pemasaran dan pelayanan terhadap customer.
Pengontrolan Pemasaran
Pengontrolan, pengendalian atau pengawasan merupakan hasil studi deskriptif yang dikembangkan berdasarkan pengamatan terhadap apa yang dilakukan manajemen pemasaran untuk mengarahkan organisasinya dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pengendalian manajemen dapat membantu manajemen organisasi untuk mencapai tujuan organisasi dengan mengarahkan agar realisasi kegiatan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, yaitu bahwa pengendalian manajemen yang diterapkan harus efektif.
Proses pengontrolan mengandung 4 langkah penting, yaitu:
1. Penetapan standar dan metode untuk mengukur kinerja. Disini ditetapkan suatu standar sebagai alat ukur penilaian kinerja manajemen.
2. Mengukur kinerja, yang dilaksanakan dengan pengamatan, laporan lisan/tulis ataupun metode pengujian.
3. Membandingkan antara kinerja dan standar.
4. Mengambil tindakan perbaikan bila diperlukan. Langkah ini diambil jika kinerja turun di bawah standar dan segera memerlukan tindakan koreksi.
Pengendalian mutlak diperlukan karena alasan sebagai berikut:
1. Untuk mengantisipasi adanya perubahan lingkungan organisasi. Perubahan pada lingkungan organisasi cenderung terjadi secara terus menerus dan tidak dapat dihindari.
2. Untuk memudahkan manager dalam memantau dan sekaligus melihat apakah karyawan telah melakukan tugas-tugas yang telah dilimpahkan kepadanya.
3. Untuk menyatukan pekerja dari berbagai latar belakang, guna menghargai keragaman dari angkatan kerja yang terdiri dari perempuan, laki-laki dari berbagai usia dan latar belakang kultur. Dengan ini pengelolaan akan labih baik.



DAFTAR PUSTAKA


http://www.midas-solusi.com/knowledge-space,en,detail,33,strategi-pemasaran (13 Juni 2009)

http://www.referenceforbusiness.com/management/Or-Pr/Pioneers-of-Management.html

Sumarni, Murti. Managemen Pemasaran Bank. Yokyakarta: Liberty, 2002.

Winardi. Asas-Asas Marketing. Bandung: Mandar Maju, 1993.

METODE PENELITIAN HUKUM



oleh:
Mushlih Candrakusuma


PENDAHULUAN
Kegiatan penelitian merupakan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil-hasil yang dicapai dan berguna bagi kehidupan manusia dimulai dari kegiatan penelitian bahkan menjadi tradisi yang berlaku dalam pergaulan masyarakat ilmiah. Pengetahuan dan teknologi diperoleh saat ini dipastikan melalui kegiatan penelitian termasuk ilmu-ilmu sosial yang di dalamnya termasuk ilmu hukum.
Penelitian mengandung metode atau cara yang harus dilalui sebagai syarat dalam penelitian. Metode dilaksanakan pada setiap kegiatan penelitian didasarkan pada cakupan ilmu pengetahuan yang mendasari kegiatan penelitian. Meskipun masing-masing terdapat karakteristik metode yang digunakan pada setiap kegiatan penelitian, akan tetapi terdapat prinsip-prinsip umum yang harus difahami oleh semua peneliti seperti pemahaman yang sama terhadap validitas dari hasil capaian termasuk penerapan prinsip-prinsip kejujuran ilmiah.
Ilmu hukum sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial dalam berkembangannya tidak terlepas dari kegiatan penelitian. Dalam Penelitian hukum, calon peneliti terlebih dahulu harus mampu menentukan kerangka konsepsional dan kerangka teoretis. Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum, dan di dalam landasan / kerangka teoretis diuraikan segala sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai suatu sistem ajaran.
Penelitian hukum dikelompokkan dalam dua bagian yaitu penelitian normatif dan penelitian yang menelusuri kenyataan hukum di tengah masyarakat. Sasaran Penelitian hukum normatif diarahkan untuk menganalisis hubungan-hubungan hukum antar satu peraturan dengan peraturan lainnya, tingkat sinkronisasi hukum baik vertikal maupun horisontal termasuk penelusuran asas-asas hukum. Pada penelitian yang menelusuri kenyataan hukum di tengah masyarakat (yuridis empiris) objeknya adalah penegakan hukum, hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pada penelitian hukum, tidak semua masalah-masalah kemasyarakatan dapat dijadikan masalah dalam penelitian. Masalah yang dirumuskan dalam penelitian hanya peristiwa-peristiwa hukum yang masuk kategori dan bukan peristiwa sosial yang tidak mengancam terlindungi tidaknya kepentingan manusia. Calon peneliti tidak akan mampu mengidentifikasi permasalahan bila tidak dapat membedakan peristiwa hukum atau bukan, atau tidak mampu mengindentifikasi masalah sosial yang berdampak pada terancamnya kepentingan manusia.



PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Penelitian Hukum
Penelitian berarti pencarian kembali. Pencarian yang dimaksud adalah pencarian terhadap pengetahuan yang benar (ilmiah) yang hasilnya akan dipakai untuk menjawab permasalahan tertentu yang bernilai edukatif. Dengan kata lain penelitian merupakan suatu aktivitas ilmiah yang direncanakan dan dilakukan secara sistematik, logis, rasional dan terarah untuk menjawab rasa ingin tahu berdasarkan data yang dikumpulkan secara metodologi.
Sedangkan hukum adalah institusi nasional yang riil dan fungsional didalam system kehidupan bermasyarakat baik dalam proses pemulihan ketertiban dan penyelesaian sengketa maupun dalam proses-proses pengarahan dan pembentukan pola prilaku yang baik. Jadi, penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan dasar pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Untuk kemudian diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut dan mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.
Ilmu hukum sebagai bagian dari ilmu-ilmu social dalam perkembangannya tidak terlepas dari kegiatan penelitian. Dalam penelitian hukum calon peneliti terlebih dahulu harus mampu menentukan kerangka konsepsional dan kerangka teoritis. Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan digunakan sebagai dasar penelitian hukum dan di dalam landasan atau kerangka teoritis diuraikan segala sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai suatu system ajaran.
Penelitian hukum dapat dibedakan antara penelitian hukum normatif dan penelitian hokum empiris / sosiologis. Penelitian hukum normatif mengkaji hukum yg dikonsepsikan sebagai norma atau kaidah yg berlaku di dalam masyarakat. Penelitian hukum normatif tidak mengkaji pelaksanaan implementasi hokum, tetapi penelitian hukum normatif hanya menelaah data sekunder. Sedangkan penelitian hukum empiris mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai perilaku nyata dan gejala sosial yang dialami setiap orang dalam hubungan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu penelitian hukum empiris disebut juga dengan penelitian hukum sosiologis. Penelitian ini menggali pola perilaku yang hidup dalam masyarakat sebagai gejala yuridis.
B. Tujuan Penelitian Hukum
1. Tujuan Umum:
- Mendapatkan pengetahuan tentang gejala hukum sehingga dapat merumuskan masalah.
- Memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam mengenai suatu gejala hukum, sehingga dapat merumuskan hipotesa.
- Menggambarkan secara lengkap aspek-aspek hukum (keadaan, perilaku pribadi, perilaku kelompok).
- Mendapatkan keterangan tentang frekuensi peristiwa hukum.
- Mendapatkan data mengenai hubungan antara suatu gejala hukum dan gejala lain (yang biasanya berlandas hipotesa).
- Menguji hipotesa yang berisikan hubungan sebab-akibat (harus didasarkan pada hipotesa).
2. Tujuan Khusus
- Mendapatkan asas-asas hukum.
- Sistematika dari perangkat kaidah-kaidah hukum, yang terhimpun di dalam suatu kodifikasi atau peraturan perundang-undangan tertentu.
- Taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal dari peraturan-peraturan hukum yang tertulis.
- Perbandingan hukum, terutama difokuskan pada perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam aneka macam sistem hukum.
- Sejarah hukum yang menitik beratkan pada perkembangan hukum.
- Identifikasi terhadap hukum tidak tertulis dan kebiasaan.
- Efektivitas hukum tertulis maupun hukum kebiasaan.
C. Langkah-Langkah Dalam Penelitian Hukum
Langkah-langkah dalam melakukan penelitian hukum baik normatif maupun sosiologis antara lain:
1. Perumusan judul penelitian.
2. Perumusan pengantar permasalahan.
3. Perumusan masalah.
4. Penegasan maksud dan tujuan.
5. Penyusunan kerangka teoritis yang bersifat tentatif.
6. Penyusunan kerangka konseptual dan definisi-definisi operasional.
7. Perumusan hipotesa.
8. Pemilihan / penetapan metodologi.
9. Penyajian hasil-hasil penelitian.
10. Analisa data yang telah dihimpun.
11. Perumusan kesimpulan.
12. Perumusan saran-saran.
Walaupun demikian perlu diperhatikan bahwa langkah-langkah tersebut mungkin mengalami perbedaan pada penelitian hukum normatif dengan penelitian hukum sosiologis empiris. Pada penelitian hukum normatif yang sepenuhnya menggunakan data sekunder, maka penyusunan kerangka teoritis yang bersifat tentatif dapat ditinggalkan. Akan tetapi penyusunan kerangka konseptual mutlak diperlukan.
Pada penelitian hukum normatif, tidak diperlukan penyusunan atau perumusan hipotesa. Mungkin suatu hipotesa kerja diperlukan, yang biasanya mencangkup masalah sistematika kerja dalam proses penelitian. Di dalam penelitian hukum sosiologis atau empiris pun tidak selalu diperlukan hipotesa, kecuali apabila penelitian bersifat eksplanatoris. Pada penelitian yang non-eksplanatoris, kadang-kadang juga diperlukan hipotesa. Misalnya apabila penelitian tersebut bertujuan untuk menemukan korelasi antara beberapa gejala yang ditelaah.
D. Penelitian Hukum Normatif
Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, seringkali hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Oleh karena itu penelitian hukum normatif memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Sumber datanya hanyalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari:
- Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945.
- Peraturan Dasar, yaitu batang tubuh UUD 1945 dan ketetapan-ketetapan MPR.
- Peraturan Perundang-undangan
- Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat
- Yurisprudensi
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian atau pendapat para pakar hukum.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.
b. Penelitian hukum normatif sepenuhnya menggunakan data sekunder. Penyusunan kerangka teoritis yang bersifat tentatif dapat ditinggalkan, tetapi penyusunan konseptual mutlak diperlukan.
c. Dalam penelitian hukum normatif tidak diperlukan hipotesis,kalaupun ada hanya hipotesis kerja.
d. Konsekwensi dari menggunakan data sekunder, maka pada penelitian hukum normatif tidak diperlukan sampling, karena data sekunder memiliki bobot dan kualitas tersendiri yang tidak bisa digantikan dengan data jenis lainnya.
Dari perspektif tujuannya, penelitian hukum normatif dapat dibagi 7 (tujuh) jenis, sebagai berikut:
1. Penelitian Inventarisasi Hukum
Inventarisasi hukum positif merupakan kegiatan pendahuluan yang sangat mendasar untuk melakukan penelitian hukum dari tipe-tipe yang lain. Sebelum menemukan norma hukum in-concreto atau diketemukan teori-teori tentang proses kehidupan hukum, haruslah diketahui lebih dahulu apa saja yang termasuk hukum positif yang sedang berlaku.
Kegiatan menginventarisasi hokum positif adalah proses identifikasi yang kritis-analitis serta logis-sistematis. Menginventarisasi hokum positif biasanya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan salah satu tahap dari serangkaian proses penelitian yang menyeluruh. Walaupun bersifat penelitian pendahuluan, akan tetapi bernilai penting bagi penelitian hukum yang lain.
Ada tiga kegiatan pokok dalam kegiatan menginventarisasi hukum:
a. Penetapan kriteria identifikasi untuk mengadakan seleksi norma-norma mana yang harus dimasukan sebagai norma hukum dan bukan norma hukum.
b. Mengoleksi norma-norma yang telah diidentifikasi sebagai norma hukum.
c. Melakukan pengorganisasian norma-norma yang telah dididentifikasi ke dalam suatu sistem yang komprehensif.
Dalam mengidentifikasi norma hukum, ada tiga konsepsi poko yang harus diperhatikan. Pertama, konsepsi legistis-positivistis, yang mengemukakan bahwa hukum itu identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat negara yang berwenang. konsepsi kedua, lebih menekankan pada arti pentingnya norma-norma hukum tidak tertulis untuk ikut serta dimasukan sebagai hukum. Konsepsi kedua ini mengkonstruksikan hukum sebagai refleksi kehidupan masyarakat itu sendiri. Konsepsi ketiga, mengidentikan hukum dengan keputusan hakim dan keputusan kepala adat.
2. Penelitian Asas-asas Hukum
Asas-asas hukum menurut scholten, merupakan kecenderungan-kecenderungan dalam memberikan suatu penilaian susila terhadap hukum, artinya memberikan penilaian yang bersifat etis. Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap norma-norma hukum yang merupakan patokan-patokan untuk bertingkah laku atau melakukan suatu perbuatan. Asas-asas hukum itu dipertanyakan dari manakah asas hukum tersebut ditarik atau berasal dan faktor-faktor apakah yang mempengaruhinya.
Di dalam penelitian hukum ini, peneliti bekerja secara analitis-induktif. Prosesnya bertolak dari premise-premise yang berupa norma-norma hukum positif yang diketahui, dan berakhir pada penemuan asas-asas hukum atau doktrin. Dalam kaidah-kaidah hukum Islam, penelitian tentang asas-asas hukum dapat diketemukan dalam qawa’id fiqhiyah. Kaidah-kaidah tersebut merupakan kumpulan asas-asas dan doktrin-doktrin hukum yang disimpulkan secara induktif dari berbagai detail fiqih.
3. Penelitian Hukum Klinis
Penelitian jenis ini berusaha untuk menemukan apakah hukumnya bagi suatu perkara in-concreto. Seperti halnya pada penelitian untuk menemukan asas-asas hukum (doktrinal), penelitian untuk menemukan hukum in-concreto bagi suatu perkara tertentu juga mensyaratkan adanya inventarisasi hukum positif in-abstracto. Dalam penelitian hukum ini, norma hukum in-abstracto dipergunakan sebagai premise mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dengan perkara dipergunakan sebagai premise minor. Melalui proses silogisme akan diperoleh kesimpulan hukum positif in-concreto yang dicari.
Oleh karena itu, penelitian jenis ini disebut penelitian hukum klinis (clinical legal research), yaitu diawali dengan mendiskripsikan legal facts, kemudian mencari pemecahan melalui analisis yang kritis terhadap norma-norma hukum positif yang ada, dan selanjutnya menemukan hukum in-concreto untuk menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu. Dalam hukum Islam, model penelitian hukum klinis ini sama seperti apa yang telah dilakukan Asy-Syatibi yang menegaskan bahwa penalaran hukum itu berpangkal tolak pada dua premise. Premise yang pertama berangkat dari tahqiq al-manat, sedang yang kedua berpangkal dari kaidah-kaidah dan asas hukum itu sendiri.
4. Penelitian terhadap Sistematika Hukum
Untuk mengkaji sistematika suatu peraturan perundang-undangan, yang diteliti adalah pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang akan diteliti. Pengertian-pengertian dasar tersebut adalah: peristiwa hukum, akibat hukum, hubungan hukum, subjek hukum, objek hukum serta hak dan kewajiban.
Dalam usaha mengkaji sistematika peraturan perundang-undangan, ada 4 (empat) prinsip penalaran yang perlu diperhatikan:
a. Derogasi, menolak suatu aturan yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
b. Nonkontradiksi, tidak boleh menyatakan ada tidaknya suatu kewajiban dikaitkan dengan suatu situasi yang sama.
c. Subsumsi, adanya hubungan logis antara dua aturan dalam hubungan aturan yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah.
d. Eksklusi, tiap sistem hukum diidentifikasikan oleh sejumlah peraturan perundang-undangan.
5. Penelitian terhadap Taraf Sinkronisasi Vertikal dan Horisontal
Sinkronisasi peraturan perundangan dapat ditelaah secara vertikal maupun secara horisontal. Apabila sinkronisasi peraturan perundangan itu ditelaah secara vertikal, berarti akan dilihat bagaimana hierarkinya. Jika sinkronisasi peraturan perundangan hendak ditelaah secara horisontal, yang diteliti adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai bidang itu mempunyai hubungan fungsional secara konsisten.
Penelitian ini di samping mendapatkan data yang lengkap dan menyeluruh mengenai perundang-undangan bidang tertentu, juga dapat mengungkapkan kelemahan-kelemahan yang ada pada perundang-undangan yang mengatur bidang-bidang tertentu. Dengan demikian peneliti dapat membuat rekomendasi agar perundang-undangan tersebut dilakukan amandemen. Taraf sinkronisasi peraturan hukum, dalam ushul fiqih bentuk penelitian semacam ini dibahas dalam ta’arud al-adilah, yang membahas tentang pembatalan hukum yang terdahulu dengan yang datang kemudian (nasakh), pengkompromian (al jama’), dan penguatan sebagian dalil terhadap yang lain (tarjih).
6. Penelitian Perbandingan Hukum
Setiap kegiatan ilmiah lazimnya menerapkan metode perbandingan, karena sejak semula ilmuan harus dapat mengadakan identifikasi terhadap masalah-masalah yang akan ditelitinya. Menetapkan satu atau beberapa masalah berarti telah menerapkan metode perbandingan.
Dalam penelitian perbandingan hukum, acapkali yang diperbandingkan adalah sistem hukum masyarakat yang satu dengan sistem hukum masyarakat yang lain, sistem hukum negara yang satu dengan sistem negara lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan masing-masing sistem yang diteliti.
7. Penelitian Sejarah Hukum
Seperti halnya peneltian perbandingan hukum, maka penelitian sejarah hukum merupakan suatu metode. Sebagai suatu metode, maka sejarah hukum berusaha untuk mengadakan identifikasi terhadap tahap-tahap perkembangan hukum. Penelitian sejarah hukum bermaksud untuk menjelaskan perkembangan dari bidang-bidang hukum yang diteliti. Dengan penelitian jenis ini akan terungkap ke permukaan mengenai fakta hukum masa silam dalam hubungannya dengan fakta hukum masa kini.
Penelitian sejarah hukum pada hakikatnya bersifat interdisipliner, karena menggunakan berbagai macam pendekatan sekaligus, seperti pendekatan sosiologis, antropologis dan positivistik.
E. Penelitian Hukum Sosiologis
Penelitian hukum sosiologis adalah penelitian berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat. sedikit berbeda dengan penelitian normatif, dalam penelitian hukum sosiologis, penelitian hukum tidak dapat lagi menggunakan hanya dengan satu metode penelitian atau pendekatan saja. Penelitian hukum sosiologis membutuhkan kombinasi yang integral dalam pengambilan kesimpulan dari berbagai disiplin ilmu. Penelitian seperti ini biasa dikenal dengan penelitian multidisipliner atau penelitian interdisipliner atau penelitian transdisipliner.
Untuk dapat membedakan dengan penelitian hukum normatif, berikut akan diuraikan karakteristik yang dimiliki pada penelitian hukum sosiologis:
a. Sepertihalnya pada penelitian hukum normatif yang hanya menggunakan data sekunder, penelitian hukum sosiologis juga menggunakan data sekunder sebagai data awalnya yang kemudian dilanjutkan dengan data primer.
b. Definisi operasionalnya dapat diambil dari peraturan undang-undang, khususnya terhadap penelitian yang hendak meneliti efektifitas suatu undang-undang.
c. Hipotesis kadang-kadang diperlukan, misalnya penelitian yang ingin mencari korelasi antara berbagai gejala atau variabel.
d. Akibat dari jenis datanya prmer dan sekunder, maka alat pengumpul datanya terdiri dari studi dokumen, pengamatan dan wawancara.
e. Penetapan sampling harus dilakukan, terutama jika hendak meneliti perilaku hukum warga masyarakat.
f. Pengolahan datanya dapat dilakukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Dari perspektif tujuannya, penelitian hukum sosiologis dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Penelitian Berlakunya Hukum
Berlakunya hukum dapat ditilik dari berbagai perspektif, seperti perspektif filosofis, yuridis (normatif) dan sosiologis. Perspektif filosofis yaitu berlakunya hukum jika sesuai dengan cita-cita hukum. Perspektif yuridis (normatif) yaitu berlakunya hukum jika sesuai dengan kaidah yang lebih tinggi, atau terbentuknya hukum sesuai dengan cara-cara yang ditetapkan. Sedangkan berlakunya hukum dari perspektif sosiologis menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekarto, intinya adalah efektifitas hukum.
Jika ada orang yang mengatakan bahwa suatu kaidah hukum (normatif) berhasil atau gagal mencapai tujuannya, biasanya diukur dari apakah pengaruhnya berhasil mengatur sikap atau perilaku tertentu sehingga sesuai dengan tujuan atau tidak. Pengaruh yang dihasilkan bisa positif maupun negatif. Pengaruh positif berlakunya suatu hukum disebut efektifitas sedangkan pengaruh negatif umumnya disebut dampak.
a. Penelitian Efektifitas Hukum
Penelitian hukum yang hendak menelaah efektifitas suatu peraturan perundang-undangan (berlakunya hukum) pada dasarnya merupakan penelitian perbandingan antara realita hukum dengan idealita hukum. Ideal hukum adalah kaidah hukum yang dirumuskan dalam undang-undang atau keputusan hakim (law in book). Dalam realita hukum orang seharusnya bertingkah laku atau bersikap sesuai dengan tata kaidah hukum. Atau dengan kata lain realita hukum adalah hukum dalam tindakan (law in action). Efektifitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum dalam mengatur dan atau memaksa warga masyarakat untuk taat terhdap hukum. Efektifitas hukum berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat yaitu berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis.
Apabila hendak meneliti efektifitas suatu undang-undang hendaknya tidak hanya menetapkan tujuan dari undang-undang saja, melainkan juga diperlukan sesuatu yang lain agar diperoleh hasil yang lebih baik. Agar terwujud perilaku yang sesuai dengan hukum, menurut Friedmen hal tersebut merupakan persoalan pilihan yang berhubungan dengan motif dan gagasan. Motif atau gagasan itu dibagi dalam empat kategori: kepentingan pribadi, sensitif terhadap sanksi, pengaruh sosial dan kepatuhan.
Kalau menurut Soerjono Soekanto, secara garis besar ada empat faktor seseorang berperilaku tertentu:
- Memperhitungkan untung rugi.
- Menjaga hubungan yang baik dengan sesama atau penguasa.
- Sesuai dengan hati nurani.
- Adanya tekanan-tekanan.
b. Penelitian Dampak Hukum
Dampak adalah perubahan atau benturan yang terjadi karena suatu kegiatan. Dampak hukum merupakan efek total (baik positif maupun negatif) dari penerapan suatu hukum. Dengan demikian, penelitian hukum jenis ini merupakan kegiatan untuk menelaah akibat-akibat dari berlakunya hukum. Berlakunya hukum dapat menimbulkan perubahan-perubahan, dan perubahan itu mengakibatkan keadaan tertentu dalam masyarakat.
Penelitian dampak hukum berbeda dengan penelitian efektifitas hukum. Dalam penelitian efektifitas hukum, masalah yang diteliti adalah apakah perilaku hukum masyarakat sesuai dengan ideal hukum. Sedangkan dalam penelitian dampak hukum, permasalahan utama yang diteliti adalah apa saja dampak dari berlakunya hukum terhadap kehidupan masyarakat baik bersifat positif maupun negatif.
Ada beberapa pertanyaan pokok yang harus dicari jawabannya dalam penelitian dampak hukum, antara lain:
- Hal-hal apa saja yang mengalami perubahan.
- Sejauhmana perubahan itu terjadi.
- Bagaimana kecepatan perubahan itu berlangsung.
- Kondisi-kondisi apa yang terdapat sebelum dan sesudah perubahan terjadi.
- Apa yang terjadi selama masa transisi.
- Faktor apa yang mendorong terjadinya perubahan.
- Dapatkah manusia menentukan arah dari perubahan tersebut.
2. Penelitian Identifikasi Hukum Tidak Tertulis
Meminjam istilah Cicero, “ada masyarakat ada hukum”, artinya betapapun sederhana masyarakat itu, hukum pasti dijumpai. Pernyataan seperti itu dapat ditemukan pula pada Selo Soemarjan misalnya, beliau membuat klasifikasi bentuk masyarakat atas dasar ciri-ciri struktur sosial dan budaya, dengan menggunakan hukum sebagai salah satu indikasinya.
Misalnya pada masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan sederhana, hukum berlaku tidak tertulis, tidak kompleks dan pokok-pokoknya diketahui dan dimengerti oleh semua anggota. Pada masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan madya, hukum tertulis mulai mendampingi hukum tidak tertulis. Dalam masyarakat yang berstruktur sosial dan kebudayaan pra-modern dan modern, hukum yang berlaku pada pokoknya adalah hukum tertulis yang amat kompleks. Oleh karena itu dalam mengidentifikasi hukum tidak tertulis dari suatu masyarakat tertentu, ciri-ciri masyarakat yang bersangkutan menjadi relevan untuk dipertimbangkan.
Di samping itu peneliti juga harus dapat memilah dan memilih mana kebiasaan yang tergolong hukum dan mana yang bukan hukum. Walaupun kebiasaan merupakan sumber hukum, tetapi tidak semua kebiasaan dapat dijadikan sumber hukum, hanya kebiasaan-kebiasaan yang memiliki kriteria tertentu saja yang dapat disebut hukum.



DAFTAR PUSTAKA
Ashshofa, Burhan. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Asikin, Zainal dan Amiruddin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Hamidi. Metode Penelitian Kualitatif. Malang: UMM Press, 2004.
http://hukum.kompasiana.com/2012/03/12/metode-penelitian-hukum.
http://muliadinur.wordpress.com/category/metode-penelitian-hukum.
http://penelitian-hukum.blogspot.com/2010/09/metode-penelitian-hukum.html.
http://rulhome.blog.com/2010/04/11/metode-penelitian-normatif-dengan-penelitian-empiris.
Mu’alim, Amir dan Yusdani. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yokyakarta: UII-Press, 2001.
Soekanto, Soerjono. Efektifitas Hukum dan Peranan Sanksi. Jakarta: Remaja Karya,1993.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 2005.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Zainuddin. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.